Rabu, 09 Maret 2016

BAHTSUL MASAIL POKJAHULU BREBES 2016

Tidak ada komentar:







BAHTSUL MASAIL
KEPALA  DAN PENGHULU KUSE- KABUPATEN BREBES
DI KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN BREBES
Tanggal 16 Februari 2016 M. / 7 Jumadil awal 1437 H.



I.                   PERMASALAHAN PERTAMA

Deskripsi masalah
Nikah merupakan salah satu dari tiga hal yang oleh Rasulullah dikatakan tidak boleh dipermainkan. Sementara saat ini berkembang gejala yang cenderung menggampangkan masalah pernikahan, sehingga KUA sebagai lembaga yang secara sah oleh undang-undang ditunjuk sebagai pihak yang melaksanakan pencatatan peristiwa nikah bagi warga Indonesia yang beragama Islam sering dihadapkan pada dilema permasalahan yang dibaratkan seperti buah simalakama. Pasangan pengantin baik yang sudah mendaftarkan maupun belum mendaftarkan rencana pernikahan dirinya di KUA sudah dinikahkan oleh seseorang, sementara pada waktu peristiwa pernikahan tersebut tidak dihadiri/disaksikan oleh petugas dari KUA.

Pertanyaan:

a.       Bolehkah pihak KUA MENIKAHKAN KEMBALI pasangan yang telah dinikahkan oleh seseorang ?
b.      Apakah TAJDIDUNNIKAH yang dilaksanakan oleh KUA secara hukum diperbolehkan atas alasan untuk menguatkan walaupun yang menikahkan pasangan tersebut merupakan ulama yang sudah diketahui kapasitasnya ?

c.       Ada pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan keduanya dalam keadaan masih sebagai suami istri sah merupakan pengakuan atas jatuhnya talak satu ?
d.      Kalaupun diperbolehkan TAJDIDUNNIKAH apakah suami perempuan tersebut harus menyiapkan MAS KAWIN lagi ?
e.       Bagaimana LAFAZ IJAB KOBUL pada TAJDIDUNNIKAH ?

Jawaban :

a.       Boleh, dan tidak merusak pernikahan yang pertama.
Pengambilan (Ma’khadz) dari :

1.                            Kitab Tuhfah al muhtaj


أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلاً لاَ يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ اْلأُولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ إِلَى أَنْ قَالَ وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَجَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْهُ.
“Sesungguhnya persetujuan murni suami atas akad nikah yang kedua (memperbaharui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggungjawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas s/d ...... sedangkan apa yang dilakukan suami disini ( dalam memperbaharui nikah) semata – mata untuk memperindah atau berhati – hati ( Tuhfah al Muhtaaj VII/391)
2.                             Hasyiyat al-Jamal ‘ala al-Manhaj 

وعبارته: لأن الثاني لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا 
للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ
“ Karena akad yang kedua ( Pembaharuan nikah ) tidak dikatakan benar – benar akad, namun itu adalah gambaran akad (pertama), berbeda dengan pendapat yang ditampakan dalam Al Anwar li A’mal al Abror. Dan termasuk yang menjadi dalil dalam masalah saya ini apa yang diterangkan dalam Fathul bari tentang pendapat Al Bukhori sampai dia berkata, berkata Ibnu al Munir hadis ini memberi pengertian bahwa mengulang lafal akad nikah dan lainnya bukanlah fasakh (merusak) akad yang pertama berbeda dengan apa yang diklaim sebagian syafi iyah, saya berpendapat yang benar menurut syafiiyah adalah tidak merusak (akad pertama) sebagaimana pendapat jumhur ulama (Intaha)”  (Hasyiyat al-Jamal ‘ala al-Manhaj juz 4 halaman 245).
3.                            Hadits Shohih Bukhori
Dan seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Munir adalah hadits yang diriwayatkan Salamah rodhiyallohu 'anha ;

بَايَعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ؟»
، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ،

 قَالَ: وَفِي الثَّانِي
“Ketika itu Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.” (Shohih Bukhori, no.7208)


 6782 - قوله عن سلمة تقدم في باب البيعة في الحرب من كتاب الجهاد من رواية المكي بن إبراهيم حدثنا يزيد بن أبي عبيد عن سلمة بأتم من هذا السياق وفيه بايعت النبي صلى الله عليه و سلم ثم عدلت إلى ظل شجرة فلما خف الناس قال يا بن الأكوع ألا تبايع قوله قد بايعت في الأول قال وفي الثاني والمراد بذلك الوقت وفي رواية الكشميهني في الأولى بالتأنيث قال وفي الثانية والمراد الساعة أو الطائفة ووقع في رواية مكي فقلت قد بايعت يا رسول الله قال وأيضا فبايعته الثانية وزاد فقلت له يا أبا مسلم على أي شيء كنتم تبايعون يومئذ قال على الموت وقد تقدم البحث في ذلك هناك وقال المهلب فيما ذكره بن بطال أراد أن يؤكد بيعة سلمة لعلمه بشجاعته وعنائه في الإسلام وشهرته بالثبات فلذلك امره بتكرير المبايعة ليكون له في ذلك فضيلة قلت ويحتمل ان يكون سلمة لما بادر إلى المبايعة ثم قعد قريبا واستمر الناس يبايعون إلى ان خفوا أراد صلى الله عليه و سلم منه ان يبايع لتتوالى المبايعة معه ولا يقع فيها تخلل لأن العادة في مبدأ كل أمر أن يكثر من يباشره فيتوالى فإذا تناهى قد يقع بين من يجيء آخرا تخلل ولا يلزم من ذلك اختصاص سلمة بما ذكر والواقع ان الذي أشار إليه بن بطال من حال سلمة في الشجاعة وغيرها لم يكن ظهر بعد لأنه انما وقع منه بعد ذلك في غزوة ذي قرد حيث استعاد السرح الذي كان المشركون اغاروا عليه فاستلب ثيابهم وكان آخر أمره أن أسهم له النبي صلى الله عليه و سلم سهم الفارس والراجل فالأولى أن يقال تفرس فيه النبي صلى الله عليه و سلم ذلك فبايعه مرتين وأشار بذلك إلى انه سيقوم في الحرب مقام رجلين فكان كذلك وقال بن المنير يستفاد من هذا الحديث ان اعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لا يكون فسخا كما قال الجمهور 


4.    Fathul bari juz 13 hal. 166 Ibnu Hajar al-Asqolani
Ketika memberi syarah pada hadits di bawah ini:
6782 - حدثنا أبو عاصم عن يزيد بن أبي عبيد عن سلمة قال
 : بايعنا النبي صلى الله عليه و سلم تحت الشجرة فقال لي ( يا سلمة ألا تبايع ) . قلت يا رسول الله قد بايعت في الأول قال
( وفي الثاني )
Keterangan :
Secara Undang-undang justru Pernikahan secara siri tidak diakui, maka PPN atau Penghulu berhak untuk melaksanakan Tajdid Nikah dengan dengan  berpedoman kepada pasal 6 Undang – Undang No.1 tahun 1974 yang menyatakan :
“(1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai pencatat Nikah.
(2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawi pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”
Atas dasar UU No.1 tahun 1974, PPN dan Penghulu hampir dipastikan akan meminta kedua orang yang mendaftar kehendak nikahnya untuk melakukan akad nikah lagi dihadapannya, dan ini juga sesuai dengan kaidah fiqh
الاصل بقاء ما كان علي ما كان
“Sesuatu itu tetap pada keadaan asalnya”
Bukankah ketika calon pengantin  mendaftarkan kehendak nikahnya mereka berstatus jejaka/perawan atau duda/janda? Jadi keadaan awal mereka adalah lajang belum menikah, maka yang diyakini Penghulu dan PPN adalah keadaan semula yaitu belum menikah.

b.       Boleh, Ma’khadz  sama dengan di atas, Kebanyakan Ulama terutama Ulama Syafiiyah berpendapat mengulangi akad nikah tidak mengakibatkan fasakhnya akad nikah pertama.
Memang ada Ulama yang berpendapat bahwa Tajdid Nikah merupakan pengakuan jatuhnya talak satu seperti Yusuf al-Ardabili al-Syafii ulama terkemuka mazhab Syafii (wafat 779 H) sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya al-Anwar li A’mal al-anwar II: 156
 “ Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) talaq, Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhalil”.

c.    Tidak Perlu Membayar Mahar lagi (mahar sama dengan Akad nikah pertama),
Ma’khadz (referensi)
Fathul Wahab (Juz III Hal 413)
“ Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sir (sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu , kemudian diulang kembali akadnya secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya adalah seribu.”.

d.    Lafadz ijab qobul Tajdid nikah sama dengan pernikahan biasa, karena tujuan Tajdid nikah hanyalah Tajammul dan Ikhtiyat
Pengambilan ( Ma’khadz) dari :
Kitab Tuhfah al-muhtaj (Juz VII Hal. 391)


II.                PERMASALAHAN KEDUA

Deskripsi Masalah

Kehidupan rumah tangga tidak terlepas dari problem, besar kecilnya problem tergantung cara pandang yang bersangkutan. Dalam menghadapi permasalahan rumah tangga tidak hanya saat menghadapi problem besar, pada saat menghadapi problem kecilpun kadang seorang suami entah karena dorongan emosi atau dorongan spontanitas mengucapkan kata talak terhadap istrinya.

Pertanyaan:

a.    Apakah sah talak yang ucapkan oleh suami dalam KEADAAN EMOSI ?
b.    Apakah sah talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan sadar tetapi TIDAK DI HADAPAN QODHI (dalam hal ini Pengadilan Agama) ?
c.    Kalaupun ucapan talak yang keluar dari mulut suami DIANGGAP TIDAK SAH kalau diucapkan tidak di depan Hakim Pengadilan Agama, bagaimana dengan hadits yang melarang mempermainkan talak ?
d.    Apakah pemberian surat akta cerai WALAUPUN PALSU oleh pihak suami SUDAH DIANGGAP JATUH TALAK


Jawaban :

a.      diTafsil

Menurut Wahbah Zuhaili marah (ghadhab) ada dua:
1.      Marah biasa; Marah yang tidak sampai menghilangkan kesadaran atau akal.
2.      Marah yang sangat (شدة الغضب), marah yang dapat menghilangkan kesadaran atau akal  (زائل العقل) (Fikh al-islam wa adilatuhu, 9/343)
a.1  Tetap Jatuh Talaqnya jika dalam keadaan marah biasa
Pengambilan (Ma’khadzi ) dari :
Hadits  riwayat Mujahid, bahwa Ibnu Abbas RA didatangi seorang lelaki yang berkata,”Saya telah menjatuhkan talak tiga kali pada isteriku dalam keadaan marah.” Ibnu Abbas menjawab,”Aku tak bisa menghalalkan untukmu apa yang diharamkan Allah. Kamu telah mendurhakai Allah dan isterimu telah haram bagimu.” (HR Daruquthni, 4/34).

 a.2 Tidak jatuh talaqnya jika dalam keadaan marah yang sangat (شدة الغضب), marah yang dapat menghilangkan kesadaran atau akal  (زائل العقل)
Pengambilan (Ma’khadz)  dari :
Para fuqaha sepakat jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah yang sangat, talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf karena hilang akalnya (za`il al-aql), seperti orang tidur atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum. Dalilnya sabda Nabi SAW,“Diangkat pena (taklif) dari umatku tiga golongan : anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga waras.” (HR Abu Dawud no 4398).

قوله واتفقوا على وقوع الطلاق الغضبان] فى تركيب المشتاق سئل الشمس الرملى عن الحلف فى الطلاق حال الغضب الشديد المخرج عن الاشعار هل الطلاق ام لاوهل يفرق بين التعليق والتنجيز ام لا وهل يصدق الحالف في دعواه شدة الغضب وعدم الاشعار فاجاب بانه لاعتبار في الغضب فيها نعم ان كان زائل العقل عذر انتهى

Sayyid Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, 4/5;
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343; 
Kesimpulannya, suami yang menjatuhkan talak dalam keadaan marah dianggap tetap jatuh talaknya. Sebab kondisi marah tidak mempengaruhi keabsahan tasharruf (tindakan hukum) yang dilakukannya, termasuk mengucapkan talak. Kecuali jika kemarahannya mencapai derajat marah yang sangat, maka talaknya tidak jatuh.

b.      SAH, Talak yang dijatuhkan oleh suami yang baligh, berakal sehat dan tidak dipaksa مختار)), di depan Hakim/Pengadilan Agama atau tidak tetap SAH.
Pengambilan (Ma’khadz) dari:

1.      Al Muhadzab (Jilid II : 78)

 يصح الطلاق من كل زوج بالغ عاقل مختار
2.      Fathul Mu’in (Hal : 112)

(يقع طلاق) مختار (مكلف) اي بالغ عاقل (ومتعد بسكر) اي بشرب الخمر ......(لا)طلاق(مكره) بغير حق(بمحذور) .....( فثح المعين ص:112)

3.     Fikh Sunnah( Hal : 210 )
اثفق العلماء علي ان الزوج العاقل البالغ المختار هو الذي يجوز له ان يطلق وان طلاقه يقع
(فقه السنة ص:210)

4.    Abu Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab hlm. 17/68. 

 ويقع الطلاق في حال الرضى والغضب والجد والهزل، لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ” ثلاث جدهن جد، وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة ” رواه أصحاب السنن


Catatan :
Dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan  Bab VIII Pasal 39 ayat (1) disebutkan :
“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
UU ini mengikat semua warga RI tentu saja, sebagaimana ketentuan Agama Islam mengikat semua muslim. Karenanya warga muslim perlu memahami ketentuan ini; agar tidak terjadi, misalnya, seorang suami menjatuhkan talak –yang sudah sah menurut agama – masih terus berkumpul dengan “bekas” isterinya sambil menunggu keputusan Pengadilan.

c.       Tetap Sah Talaqnya meskipun diucapkan tidak di depan Hakim Pengadilan Agama
Ma’khadz (referensi) sama dengan Jawaban b.

d.      Tafsil,  Jika dalam membuat akta cerai palsu Suami membacakan/mengucapkan talaq secara shorih atau kinayah dan  niat dalam hati  maka jatuhlah talaqnya. Akan tetapi jika tidak mengucapkan dan tidak niat dalam hati maka tidak jatuh talaqnya. Karena lafadz talaq perlu dengan kata-kata (ucapan).

Pengambilan (Ma’khadz) dari :

المغني (16/ 480)
إذَا كَتَبَ الطَّلَاقَ ، فَإِنْ نَوَاهُ طَلُقَتْ زَوْجَتُهُ وَبِهَذَا قَالَ الشَّعْبِيُّ ، وَالنَّخَعِيُّ ، وَالزُّهْرِيُّ ، وَالْحَكَمُ ، وَأَبُو حَنِيفَةَ ، وَمَالِكٌ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الشَّافِعِيِّ

Jika suami menulis talak, jika dia meniatkan talak tersebut maka istrinya tertalak. Ini adalah pendapat Asy-Sya’by, An-Nakho’iy, Az-Zuhry, Al-Hakam, Abu Hanifah, Malik, dan statemen yang dikutip dari Asy-Syafi’I (Al-Mughni, vol. 16 hlm 480).
 jika talak ditulis, maka harus ada niat. Jika tidak ada niat talak, misalnya menulis lafadz talak sebagai latihan menulis indah, atau menulis kutipan ucapan orang lain dan niat-niat lain yang semisal, maka tulisan yang demikian tidak membuat jatuh talak. Ibnu Qudamah mengatakan;


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top