PENGHULU, ANTARA KEWAJIBAN DAN HAK
Dikalangan umat Islam tidak ada yang tidak kenal dengan sebutan penghulu Orang tua, remaja bahkan sampai anak anak sekalipuntahu atau setidaknya pernah mendengar kosa kata tersebut. Mengapabegitu dikenal? karena mereka semua, termasuk kita, pernah berhubungan dengan penghulu, baik sekali ataupun lebih.Sekali bagi mereka yang menikah sekali. Dua kali atau lebih bagi mereka yang menikah lebih dari sekali atau bagi para orang tua yang menikahkan anak-anaknya.
Keberadaan penghulu sebagai salah satu pejabat dalam pemerintahan memang telah ada sejak jaman kerajaan Islam baik di Jawa maupun diluar jawa, Pada jaman kerajaan Islam penghulu adalah sosok yang mempunyai kelebihan secara keilmuan dan spriritual.Dia adalah penasehat spiritual raja, penafsir mimpi raja serta dialah pula yang mengambil sumpah pelantikan seprang raja. Bidang yang menjadi urusan penghulu adalah seluruh urusan agama yaitu ibadah, pengadilan, munakahat dan dakwah agama. Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda menerapkan struktur Penghulu Agung untuk tingkat pusat; Penghulu kepala ( belanda: Hoofd Penghulu ); dan tingkat kecamatan dengan nama Penghulu atau Naib. Penghulu identik dengan pernikahan, sebab ada pernikahan berarti ada penghulu. Itu jika dimaknai penghulu secara sempit. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Penghulu yang sekarang menduduki jabatan fungsional dan jabatan karir pada awalnya bernama Wakil Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan pasal 2 Undang Undang no 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.Setelah berjalan kurang lebih 40 tahun muncul gagasan untuk menjadikan peran PPN dan wakil PPN sebagai jabatan karir dan jabatan funsional penghulu, dengan lahirnya KMA477 tahun 2004 tentang pencatatan nikah. Terakhir dengan peraturan Mentri Agama RI no 11 tahun 2007 sebutan wakil PPN diganti dengan sebutan Penghulu.
Kalau kita teropong lebih jauh lagi akan makna besar dari penghulu yang saat ini berada pada koridor aturan pemerintah ( Kementrian Agama ),misalnya Permen PAN nomor : PER/62/M.PAN/6/2005,Penghulu adalah pejabat fungsional PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan NR menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. ; Perpres RI nomor 73 tahun 2007 Penghulu adalah pegawai pencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 1 tahun 1974 dan PMA nomor 11 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa Penghulu adalah PNS yang diberi tugas tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/ rujuk menurut agama islam dan kegiatan kepenghuluan.
Tugas pokok penghulu ( Kepmen PAN nomor : PER/62/M.PAN/6/2005 pasal 4 : a. Melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan; b. Pengawasan pencatatan NR; c. Pelaksanaan pelayanan NR; d. Penasehatan dan Konsultasi; e. Pemantauan pelanggaran ketentuan NR; f. Pelayanan fatwa hukum munakahat dan Bimbingan muamalah; g. Pembinaan keluarga sakinah ; h. Pemantauan dan Evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. Dengan begitu penghulu saat ini adalah pejabat fungsional dengan spesialis pelayanan di bidang munakahat. Bagi penghulu melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi.Sebagai seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Kementrian Agama yang telah diberikan gaji ( hak upah )-nya, kewajiban tersebut tentunya harus dilakukan dengan senantiasa berpegang erat kepada peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas kepenghuluannya.
Pelayanan yang harus diberikan penghulu kepada masyarakat yaitu melayani keinginan masyarakat yang bermaksud melaksanakan pernikahan dengan sebaik-baiknya. terlepas pelaksanaan akad nikahnya akan diadakan di KUA atau keinginan masyarakat dilaksanakan di luar kantor, apakah di rumah mempelai wanita ataupun pelaksanaanya di gedung atau di hotel, semua harus dilayani dengan sebaik baiknya sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI no 11 tahun 2007 pasal 21 ayat 1 : Akad Nikah dilaksanakan di KUA; Ayat 2: Atas permintaan Calon mempelai dan atas persetujuan PPN akad nikah dapat dilaksanakan diluar KUA.
Akad nikah dilangsungkan di KUA pada hari kerja jam kerja yang waktunya ditentukan oleh PPN, biaya pencatatan hanya Rp. 30.000,- dengan persyaratan dan ketentuan berlaku, yaitu setiap calon mempelai harus menyetorkan sendiri biayanya ke Bank yang ditunjuk; bahwa untuk persyaratan pendaftaran calon mempelai harus melengkapi dengan Surat keterangan untuk nikah ( N1 ), surat keterangan asal usul ( N2 ) dan surat keterangan tentang orang tua ( N4 ) yang semuanya harus dibuat di kelurahan / desa. Untuk mendapatkan surat keterangan itu, yang bersangkutanterlebih dahulu harus melapor ke pengurus RT dan RW setempat sekaligus mendapatkan surat pengantarnya. Persyaratan lainnya, setiap calon mempelai harus mengikuti Kursus Bimbingan Calon Mempelai di KUA dalam kurun 10 hari sebelum dilaksanakan akad.
Persoalan kemudian muncul tatlkala masyarakat tidak ingin direpotkan oleh pengurusan persyaratan-persyaratan seperti yang diungkapkan di atas. Karakter masyarakat kita yang serba ingin praktislebih cenderung memilih yang serba instant , atau “ tau beres ” dengan berbagai alasan entahkarena sibuk pekerjaan ataupun alasan lainnya.
Sebagian masyarakat memiliki budaya ingin dilayani dalam segala hal termasuk pengurusan persyaratan pendaftaran nikah yang berimplikasi kepada keluarnya biaya jasa pengurusan surat-surat untuk mendaftarkan pernikahan. Akibatnya,orang yang diminta jasa menguruskan persyaratan pendaftaran nikah menerima uang jasa yang besarannya disepakati antara calon mempelai dengan si penjual jasa tersebut. Orang yang biasa memberikan jasa membantu pengurusan surat surat itu mayoritas dilakukan oleh P3N sebagai aparat kelurahan / desa yang di SK oleh Kemenag.
Kepala KUA / Penghulu sebelum menerima pendaftaran nikah terlebih dahulu memeriksa kelengkapan persyaratan baik secara administrasi maupun syariat-nya, kemudian memberikan bimbingan kepada calon mempelai, menghadiri akad nikah dan mencatat peristiwa pernikahan tersebut. Dalam peristiwa akad nikah yang dilangsungkan diluar KUA ( apakah di rumah atau di gedung / hotel ) seringkali Penghulu diminta untuk memandu acara, menyampaikan khutbah nikah dan membacakan do’a, terkadang pula menjadi pengatur acara / mc bahkan menjadi penerima atau menyerahkan calon pengantin, artinya bahwa penghulu saat itu bisa multi fungsi sesuai permintaan masyarakat.
Sebagai PNS, penghulu apabila mencatat pernikahan yang dilaksanakan di KUA tidak ada masalah karena memang itu kewajibannya untuk menghadiri dan mencatat pernikahan. Masalah muncul ketika masyarakat / calon pengantin meminta akadnya dilaksanakan di luar KUA dan diluar jam kerja. Masalah inilah yang menjadi isu kontroversialbelakangan ini. Peristiwa ditahannya Kepala KUA di Kediri dengan tuduhan menerima gratifikasi dengan ancaman tuntutan jaksa 18 tahun semakin menyulut reaksi keras dari berbagai kalangan, khususnya para penghulu.
Saat pengantin menginginkan akad nikahnya dilaksanakan di luar KUA dan hari libur, maka banyak hal yang harus direnungkan oleh kita bersama. Seperti kita ketahui bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban pribadi sebagai manusia, sebagai kepala rumah tangga,suami dan bahkan sebagai seorang ayah. Penghulu sebagai seorang suami dan seorang kepala rumah tangga dalam keluarganya mempunyai hak untuk berkumpul bersama keluarga bermain dan bersendagurau.Itu sudah menjadi hak asasi setiap manusia, siapapun dia dan apapun jabatannya. Akan tetapi saat Penghulu dihadapkan kepada tuntutan harus melakukan tugas pencatatan nikah diluar kantor dan diluar jam kerja, hak asasi tersebut seolah olah dianggap tidak ada atau diabaikan.
Berhitung secara matematis penghargaan sebesar apa yang dapat diterima oleh penghulu untuk mengganti hak pribadi dan keluarganya yang hilang tersebut? Berapa besar calon mempelai harus memberi kepada Ustadz / Kyai yang menyampaikan khutbah nikah dan membaca doa? Kemudian jika saja dalam prosesi pernikahan tersebut keluarga pengantin tidak mempersiapkan Kyai/Ustadz untuk menyampaikan Khutbah nikah dan nasehat pernikahan serta Ustadzsebagai Pembaca Do’anya, maka bisa dibayangkan berapa besar nilai yang seharusnya diberikan kepada penghulu yang merangkap tugas tersebut sebagai ungkapan terimakasihnya ?
Apakah naïf jika keluarga mempelai memberikan sebahagiaan rezekinya kepada penghulu sebagai ungkapan tanda terimakasih atas pengambilan hak waktu pribadi dan keluarganya, apakah haram memberikan sebagian rezekinya kepada penghulu yang telah menyampaikan khutbah nikah, nasehat pernikahan dan meminpin do’a kepada mempelai? Kalau itu sudah haram dan gratifikasi maka tepat jika Asosiasi Penghulu Jawa madura komitmen mulai Januari untuk tidak menghadiri akad nikah di luar KUA, persoalannya apakah masyarakat umum menerima dan bersedia ?? Silahkan direnungkan….