Kamis, 03 Desember 2015

IJAB QABUL DAN PERMASALAHANNYA

Tidak ada komentar:
IJAB-QABUL DAN PERMASALAHANNYA








Pendahuluan


Puncak dari pelaksanaan akad nikah adalah ijab-qabul (yang merupakan rukun terakhir dari akad nikah). Sah atau tidaknya suatu akad nikah tergantung kepada sah atau tidaknya ijab-qabul yang dilakukan. Karenanya, tidak heran jika untuk melakukan ijab-qabul biasanya penghulu melakukan pengkondisian suasana dengan pembacaanistighfar, syahadat, dan shalawat. Tujuannya agaknya untuk menyiapkan hati, menghadirkan kalbu, dan meluruskan niat, agar ijab-qabul yang akan dilaksanakan dapat berlangsung dengan sempurna sesuai ketentuan syariat.
Langkah penghulu ini, selain taat terhadap juklak dan juknis pelaksanaan akad nikah yang telah dikeluarkan Departemen Agama, tentu juga sebagai tanggung jawab moral sebagai pelayan masyarakat untuk melakukan pelayanan prima. Masalahnya, terkadang penghulu dihadapkan kepada selera dan keinginan masyarakat yang berbeda tentang penyelenggaraan akad, khususnya ijab-qabul, karena berbedanya keyakinan madzhab yang dianut masyarakat
Makalah ini diharapkan menjadi informasi berharga bagi pelaksanaan tugas di lapangan. Di dalamnya dibahas mengenai masalah-masalah yang biasa timbul atau dimungkinkan timbul mengenai ijab-qabul. Antara lain masalah shighat (yang meliputi tiga masalah); masalah qabul yang dinyatakan sebelum ijab; masalah "cek-gur" (fauriyah); dan masalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh satu orang yang sama. Namun sebelumnya diurai terlebih dulu apa akad dan apa ijab-qabul.

Apa Akad dan Apa Ijab-Qabul

Secara bahasa, akad (العقد) berarti mengikat ujung suatu benda dengan ujung yang lainnya (الربط بين أطراف الشيء ) . Dalam konteks kehidupan, bermakna melakukan perikatan dengan orang lain (ارتبط مع شخص أخر).
Definisi Akad ini masih bermakna umum, karena melingkupi semua perikatan yang dilakukan manusia dengan sesamanya, yang dipilah menjadi dua: pertama, perikatan yang berupa wakaf, thalak, sumpah, dan yang sejenisnya, yang pelaksanaannya cukup dikemukakan maksudnya oleh satu pihak saja; kedua, perikatan yang berbentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai, nikah, dan sebagainya, yang mengharuskan kedua belah pihak yang melakukan perikatan mengemukakan maksudnya. Perikatan kelompok pertama dinamai dengan tasharruf, sedangkan perikatan yang kedua dikenal denganالعقد
(tapi) dalam makna yang khusus.

    Aqad dalam makna yang khusus ini didefinisikan dengan:

ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله


"Tersimpulnya ijab dan qabul dalam perkara yang dibenarkan syariat yang berkonsekwensi tetapnya akibat sesuai yang dikehendaki (dalam ijab-qabul)"

    Ijab dan qabul pada intinya merupakan perbuatan yang menunjukkan ridlonya kedua pihak yang melakukan akad (الفعل الدال على الرضا بالتعاقد). Dalam mendefinisikan ijabdan qabul, para ulama sedikit berbeda pendapat. 

Ijab oleh ulama Hanafiyah didefinisikan sebagai:

إثبات الفعل الخاص الدال على الرضا الواقع أولا من كلام أحد المتعاقدين أو ما يقوم مقامه

"Perbuatan tertentu yang dilakukan untuk menunjukkan keridloan, yang dinyatakan pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan akad atau orang yang mewakilinya."
Adapun qabul adalah:

ما ذكر ثانيا من كلام أحد المتعاقدين دالا على موافقه ورضاه بما أوجبه الأول

"Pernyataan kedua yang diungkapkan satu pihak (lainnya) yang melakukan akad, yang menunjukkan persetujuan dan keridloannya, sebagai jawaban dari pernyataan (ijab) pihak pertama." 

Definisi ulama Hanafiyah tersebut jelas mengharuskan bahwa ijab harus dinyatakan terlebih dahulu sebelum qabul; dan qabul tidak boleh mendahului ijab.
Sedangkan ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa ijab merupakan pernyataan dari orang yang mengalihkan hak, walaupun dilakukan belakangan (ما صدر ممن يكون منه التمليك وإن جاء مأخرا ); dan qabul adalah pernyataan dari orang yang diberi hak milik, walaupun dilakukan duluan (ما صدر ممن يصير له الملك وإن صدر أولا) .

    Dari definisi ijab dan qabul ini saja menimbulkan permasalahan, apalagi hal-hal lainnya yang lebih jauh.. Karenanya, ayo kita bawa masalah-masalah tersebut dalam poin bahasan selanjutnya.  

Masalah-Masalah Ijab-Qabul


Shighat Ijab-Qabul

Shighat adalah ungkapan orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginan dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan. Dengan definisi tersebut dapat digarisbawahi bahwa pada normalnya, shighat ijab-qabul harus diungkapkan dengan ucapan, tetapi jika tidak bisa melakukannya dengan ucapan, dapat menggunakan ungkapan lainnya seperti isyarat dan tulisan.

Ijab-Qabul dengan Ucapan

Ucapan merupakan alat utama untuk mengungkapkan maksud batin yang tersembunyi, yang paling banyak dipakai dalam akad karena kemudahannya, juga karena kekuatan dalalah dan faktor kejelasannya. Dengan kata-kata, maksud batin yang tersembunyi lebih mudah diungkapkan dengan jelas dan lebih mudah difahami, daripada menggunakan isyarat dan tulisan. 

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ucapan tersebut dapat menggunakan bahasa apa saja yang dimengerti oleh kedua pihak yang berakad. Hanya sedikit ulama yang mengharuskan ijab-qabul nikah dengan Bahasa Arab. Di antara ulama tersebut adalah Ibn Qudamah (seorang ulama Syafi'iyah), ia berpendapat, jika seseorang mampu berbahasa Arab tetapi kemudian tidak menggunakan Bahasa Arab dalam ijab-qabulnikah, maka akadnya tidak sah. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh ulama Hanabilah.

Pendapat ini timbul dari keyakinan bahwa akad nikah merupakan ibadah seperti halnya shalat. Karena ibadah, maka ijab-qabulnya harus menggunakan Bahasa Arab seperti yang digunakan Rasulullah saw., sebagaimana kalimat takbir
(الله أكبر)
dalam shalat tidak bisa mengunakan bahasa Indonesia (umpamanya): "Allah Maha Besar."
Jadi, masalahnya terletak pada apakah akad nikah itu merupakan ibadah mahdhahseperti shalat, atau seperti akad-akad layaknya jual-beli, gadai, sewa-menyewa, dan yang sejenisnya.

Masalah kemudian merembet kepada teknis penggunaan kata-katanya. Para ulama berbeda pikiran dalam kata yang harus digunakan dalam akad nikah. Ulama Hanafiyah membolehkan kata apa saja yang menunjukkan makna untuk mengalihkan (hak) kepemilikan, seperti kata "menikahkan" (tazwij dan nikah), atau kata "memindahkan kepemilikan" (tamlik), "memberikan" (hibah), atau "menshadaqahkan", dengan syarat niatnya harus nikah disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah nikah, seperti memberikan mas kawinnya. 
Sedangkan Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah memberikan syarat untuk sahnya akad nikah dengan harus digunakannya kata "nikah" (zawaja dan nakaha) saja dan semua kata yang berakar (yang dibentuk) darinya. 

Selanjutnya masalah diteruskan mengenai bentuk kata yang digunakan, apakah menggunakan bentuk lampau, bentuk sedang dan akanan (mudhari atau present danfuture tense), bentuk pertanyaan, ataupun bentuk perintah.

Para ulama sepakat mengenai penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi), seperti أنكحتكatau زوجتك, karena bentuk ini sudah biasa digunakan untuk maksud sedang (melakukan) dan bentuk yang digunakan Rasulullah saw. ketika menikahkan. Mereka juga bersepakat bolehnya menggunakan bentuk fi'il mudhari (yang mengandung arti sedang dan akan), seperti أنكحك atau أزوجك dengan syarat harus ada niat bahwa yang dikehendaki adalah arti sedang. Tetapi tidak sah jika ada penambahan huruf/kata سdan سوف , yang sudah pasti menunjukkan makna akan. Tidak sah juga akad yang ijab-qabulnya menggunakan bentuk pertanyaan. Alasannya, bentuk pertanyaan menunjukan makna akan.
Pada intinya, ijab-qabul yang bermakna akan adalah tidak sah, seperti ucapan wali dalam akad nikah, "Saya akan nikahkan engkau besok ...," atau ucapan calon pengantin laki-laki, "Saya akan terima menikah satu bulan lagi ...."
Mengenai penggunaan bentuk perintah akan terbahas pada masalah "QabulDinyatakan Sebelum Ijab"

Ijab-Qabul dengan Isyarat dan Tulisan

Madzhab Syafi'iyah dan Hanafiah hanya membolehkan ijab-qabul dilakukan dengan isyarat bagi orang yang tidak bisa berbicara (karena bisu atau karena sebab lainnya). Jika orang yang dapat berbicara melakukan ijab-qabul dengan isyarat, maka dianggap tidak sah, karena isyarat dianggap kurang meyakinkan. Sementara, Malikiyah dan Hanabilah menganggap sah ijab-qabulnya orang normal yang dilakukan dengan isyarat. Asal isyaratnya dapat dimengerti.

Adapun mengenai ijab-qabul dengan tulisan, para ulama berpendapat bahwa orang normal pun boleh melakukan ijab-qabulnya dengan tulisan. Karena kaidah fiqh menyatakan, "Tulisan sama kedudukannya dengan ucapan. (الكتابة كالخطاب)" Dan jika seseorang bisu tetapi bisa menulis, maka harus diutamakan ia melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sebelum ia melakukannya dengan isyarat. Syaratnya, tulisan tersebut harus memenuhi dua kriteria:
  1. Tulisan tersebut harus tahan lama, artinya tidak boleh tulisan tersebut digoreskan pada media air atau udara;

  2. Tulisan tersebut diyakini dibuat oleh yang bersangkutan, dengan dibubuhi tanda tangan.

Untuk akad nikah, para ulama tidak memperbolehkan melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sementara kedua pihak (wali dan calon pengantin laki-laki) hadir dalam majelis. Ijab-qabul dengan tulisan baru dibolehkan jika salah satu atau keduanya tidak hadir dalam majelis akad. 

Ijab-Qabul dengan Perbuatan (Tanpa Ucapan, Isyarat ataupun Tulisan)

Contoh ijab jenis ini dalam jual beli, pembeli mengambil barang yang dijual lantas memberikan uang sesuai harganya kepada penjual, kemudian penjual menerima uang tersebut. Penjual dan pembeli keduanya tidak mengucapkan kata-kata apapun, juga tanpa ada isyarat ataupun tulisan.

Mengenai jual-beli, sewa-menyewa, gadai, atau hal lainnya selain pernikahan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan ijab-qabul yang seperti itu, sebagian tidak. Adapun dalam hal pernikahan, para ulama sepakat akan tidak sahnya akad nikah yang dilakukan dengan ijab-qabul seperti ini. Alasannya, pernikahan adalah hal yang riskan yang perlu dijaga kesuciannya, karena berhubungan dengan nasib manusia (khususnya wanita dan anak). Karena itu perlu kehati-hatian. Jadi, tidak bisa dianggap sebagai ijab-qabul yang sah seperti contoh ini, wali memegang tangan anaknya (catin perempuan), lantas ia memegangkan tangan catin laki-laki kepada catin perempuan, kemudian ia melepaskan pegangannya..

Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab

Masalah ini muncul agaknya disebabkan karena adanya hadits Nabi saw. yang menceritakan seorang wanita yang mengajukan dirinya untuk dinikahi Nabi saw., tetapi Nabi saw. tidak menerimanya. Kemudian seorang lelaki meminta kepada Nabi saw. untuk dinikahkan oleh beliau kepada wanita tersebut, ia berkata, "Nikahkan saya kepada perempuan itu (زوجنيها).". Lantas Nabi saw. meminta lelaki itu untuk menyediakan mahar, tetapi lelaki tersebut tidak memilikinya. Lelaki itu hanya sanggup untuk membacakan (ayat) Al-Qur'an. Akhirnya Nabi saw. memberi pernyataan bahwa beliau menikahkan lelaki tersebut kepada wanita tadi dengan mahar (pembacaan ayat) Al-Qur'an, dengan ungkapan, "فقد أنكحتكها بما معك من القرأن".
Jika dicermati, pernyataan Nabi saw. menikahkan lelaki tersebut tiada lain adalah ijab.Nabi saw. di sini bertindak sebagai wali hakim (karena beliau adalah sulthan bagi kaum Muslim). Sementara, permintaan lelaki tersebut tentunya disebut sebagai qabul.Masalahnya, qabul lelaki tersebut diungkapkan dalam bentuk amr (perintah yang bermakan do'a)
yang diungkapkan sebelum ijab dari Nabi saw. 

Mengenai ini, kebanyakan ahli fiqh, selain Hanafiah, menganggap bahwa akad yang menggunakan bentuk amr adalah boleh, tanpa harus adanya pernyataan ketiga. Seperti contoh hadits di atas, lelaki tadi tidak harus menyatakan lagi qabulnya setelah ijab Nabi saw. tersebut..

"Cek-Gur" (Fauriyah) dalam Ijab-Qabul

Yang dimaksud "cek-gur" (fauriyah) adalah qabul yang dilakukan langsung setelah ijab.Langsung berarti tidak ada jeda antara ijab dan qabul, dan tidak diselingi atau didahului kata/kalimat lain. Mengenai hal ini, jumhur ulama fiqh (Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah) tidak menjadikan "cek-gur" sebagai syarat ijab-qabul. Alasannya, untuk mengungkapkan qabul (yang berarti persetujuan), seseorang memerlukan berfikir terlebih dahulu (apakah akan setuju atau tidak, yang diistilahkan dengan khiyar majelis). Jika "cek-gur" disyaratkan, tentunya tidak mungkin ada waktu untuk berfikir. Karena itu, Jumhur hanya mengharuskan ijab-qabul dilakukan dalam "satu majelis", walaupun waktu berfikir (untuk qabul) cukup lama. Adanya persyaratan "cek-gur" justeru akan menyulitkan seseorang untuk melakukan qabul.
Sedangkan ulama Syafi'iyah sangat ngotot mensyaratkan "cek-gur" bagi ijab-qabul.Alasannya, khiyar majelis itu bisa dilakukan setelah ijab-qabul, dengan adanya hak fasakh(membatalkan) akad setelah ijab-qabul dilakukan. Walaupun begitu, kubu ini mentolelir adanya jeda yang sejenak. Bahkan, Al-Ramli (salah satu ulama Syafi'iyah) memperbolehkan membaca basmallah, hamdallah, dan shalawat sebelum mengucapkanqabul.

Ijab dan Qabul Dilakukan oleh Satu Orang yang Sama

Kebanyakan ulama Hanafiyah, kecuali Zafar, membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama (bi aqid wahid). Karena, walaupun pada kenyataannya satu orang, tetapi dianggap menempati posisi yang berbeda. 
Menurut mereka, bolehnya ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama, dalam lima keadaan sebagai berikut:
  1. Seorang kakek yang menikahkan cucu perempuannya (yang tidak punya saudara laki-laki) kepada cucu laki-lakinya yang masih belum dewasa (tetapi sudah mumayyiz) dari anaknya yang berbeda yang telah meninggal. Kakek menempati dua posisi: sebagai wali nikah bagi cucu perempuan dan "wali" (walayah, perwalian akad karena belum dewasa) dari cucu laki-lakinya.

  2. Seseorang yang menjadi wakil untuk wali dan wakil juga untuk calon pengantin laki-laki.

  3. Seseorang akan menikahi sepupunya yang perempuan. Walinya hanya tersisa dirinya, calon pengantin laki-laki (selaku anak paman bagi calon pengantin perempuan).

  4. Seseorang yang menjadi calon pengantin laki-laki, sekaligus wakil dari wali.

  5. Seseorang yang menjadi wali, juga menjadi wakil dari calon pengantin laki-laki.

Sementara Ulama Syafi'iyah hanya membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama seperti yang diterangkan pada poin 1) di atas. Itupun dilakukan karena terpaksa, dalam keadaan ketika tidak adanya wali yang lain.

Penutup


Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan, yang berupa beberapa kristalisasi sebagai berikut:

  1. Akad nikah berbeda dengan akad-akad yang lainnya, karena menyangkut nasib manusia, khususnya wanita dan anak, juga karena nikah merupakan hal yang mesti dijaga kesuciannya salah satu sunnah Rasulullah saw. Sehingga, aturan pelaksanaan ijab-qabulnya pun berbeda dan lebih ketat persyaratannya.

  2. Perbedaan pendapat mengenai berbagai masalah dalam ijab-qabul lebih baik dijadikan alternatif penyelesaian untuk mengayomi selera dan keinginan masyarakat yang berbeda-beda dalam penyelenggaraan ijab-qabul, juga agar menjadi argumentasi untuk lebih mantapnya pelaksanaan tugas penghulu sebagai pelayan masyarakat.

  3. Sebagai aparat negara, jika di lapangan menemui kesulitan karena adanya perbedaan pendapat, sebagai langkah aman, sebaiknya penghulu berpegang kepada pendapat negara, sesuai kaidah, "Jika terjadi perbedaan pendapat, maka pendapat (yang dipegang) adalah pendapat imam. (إذا اختلف فالقول قول الإمام)".

DAFTAR PUSTAKA


A. Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, terj. Tajul Arifin dkk., Kiblat Press, Bandung: 2002
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta: t.th.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, Dar al-Fikr, Beirut: 1983
--------, Fiqh al-Sunnah, jilid VI, Dar al-Bayan, Kuwait: 1968
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid IV, Dar al-Fikr, Beirut: 1984

--------, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid VII, Dar al-Fikr, Beirut: 1984

Disusun oleh Para Penghulu Wilayah Karees Kota Bandung
Disampaikan dalam Rapat Dinas Penghulu Kota Bandung
http://pokjahulu-kotabandung.blogspot.com

PERNIKAHAN PNS

Tidak ada komentar:

PERNIKAHAN PNS





Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat terpaksa.


Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil dan pejabat yang tidak menaati atau melanggar ketentuan mengenai izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin.

Untuk kepentingan penyelenggaraan sistem informasi kepegawaian, setiap perkawinan, perceraian, dan perubahan dalam susunan keluarga Pegawai Negeri Sipil harus segera dilaporkan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara menurut tata cara yang ditentukan. Perkawinan Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan wajib segera melaporkan perkawainannya kepada pejabat. Laporan perkawinan disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya l (satu) tahun terhitung mulai tanggal pernikahan. Ketentuan tersebut di atas juga berlaku untuk janda/duda Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pernikahan kembali atau Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pernikahan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat.

Catatan: Yang dimaksud dengan pejabat ialah pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil, atau pejabat lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki wewenang memberikan atau menolak permintaan izin perkawinan atau perceraian Pegawai Negeri Sipil.

Perceraian
Untuk dapat melakukan perceraian, Pegawai Negeri Sipil yang hendak bercerai harus memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Pegawai Negeri Sipil hanya dapat melakukan perceraian apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut.

  1. Salah satu pihak berbuat zina,
  2. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,
  3. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luarkemampuan/kemauannya,
  4. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat secara terus menerus setelah perkawinan berlangsung,
  5. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Surat permintaan izin perceraian diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki. Permintaan izin perceraian harus dilengkapi dengan salah satu atau lebih bahan pembuktian mengenai alasan-alasan untuk melakukan perceraian seperti tersebut di atas.

Kewajiban Atasan
Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian harus berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang hendak bercerai tersebut. Apabila usahanya tidak berhasil, maka ia meneruskan permintaan izin perceraian tersebut kepada pejabat melalui saluran hirarki dengan disertai pertimbangan tertulis. Dalam surat pertimbangan tersebut antara lain dikemukakan keadaan obyektif suami isteri tersebut dan memuat saran-saran sebagai bahan pertimbangan bagi pejabat untuk mengambil keputusan.

Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian, wajib menyampaikannya kepada pejabat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin perceraian. Setiap pejabat harus mengambil keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin perceraian tersebut. Kewajiban Pejabat Sebelum mengambil keputusan, pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang akan bercerai dengan cara memanggil mereka, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Apabila tempat suami isteri yang bersangkutan jauh dari kedudukan pejabat, maka pejabat dapat menginstruksikan kepada pejabat lain dalam lingkungannya untuk melakukan usaha merukunkan suami isteri itu.

Apabila dipandang perlu pejabat dapat meminta keterangan dari pihak lain yang dipandang mengetahui keadaan suami isteri yang bersangkutan. Apabila usaha merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan tidak berhasil, maka pejabat mengambil keputusan atas permintaan izin perceraian. Dalam mengambil keputusan pejabat mempertimbangkan dengan seksama, alasan-alasan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin perceraian, pertimbangan atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serta keterangan dari pihak lain yang dipandang mengetahui keadaan suami istri tersebut.

Permintaan izin untuk bercerai diberikan, apabila :

  1. Tidak bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianutnya,
  2. Alasan yang dikemukakan benar/sah,
  3. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan atau
  4. Alasan perceraian yang dikemukakan tidak bertentangan dengan akal yang sehat.

Penolakan atau pemberian izin untuk melakukan perceraian dinyatakan dengan surat keputusan pejabat. Pegawai Negeri Sipil menerima gugatan cerai, melaporkan adanya gugatan perceraian tersebut kepada pejabat melalui saluran hirarki selambat-lambatnya 6 (enam ) hari setelah menerima surat gugatan percerai. Atasan dan pejabat yang menerima laporan gugatan perceraian berusaha merukunkan kembali suami istri yang hendak bercerai tersebut. Apabila usaha untuk merukunkan kembali suami istri tidak berhasil, maka pejabat mengeluarkan surat keterangan untuk melakukan perceraian Pegawai Negeri Sipil yang menerima surat izin cerai atau surat keterangan untuk melakukan perceraian, apabila telah melakukan perceraian wajib melaporkan perceraian tersebut selambat-lambatnya 1 (satu) bulan terhitung mulai tanggal perceraian tersebut.

Pembagian Gaji Akibat Perceraian
Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sepertiga gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan sepertiga gajinya untuk anak-anaknya. Apabila pernikahan mereka tidak dikaruniai anak, maka setengah dari gajinya diserahkan kepada isterinya. Apabila perceraian terjadi atas kehendak suami isteri, maka pembagian gaji dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang bercerai. Bekas isteri berhak atas bagian gaji walaupun perceraian terjadi atas kehendak isteri (Pegawai Negeri Sipil pria menjadi pihak tergugat) apabila alasan perceraian tersebut adalah karena dimadu, atau karena Pegawai Negeri Sipil pria melakukan zina, melakukan kekejaman atau penganiayaan, menjadi pemabok/ pemadat/penjudi, atau meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun atau lebih tanpa alasan yang sah. Pembagian gaji seperti tersebut diatas tidak harus dilaksanakan apabila alasan perceraian karena pihak isteri melakukan zina, melakukan kekejaman atau penganiayaan, menjadi pemabok/pemadat/ penjudi, dan atau meninggalkan suami selama 2 (dua) tahun atau lebih tanpa alasan yang sah.

Apabila bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi, maka pembagian gaji dihentikan terhitung mulai bulan berikutnya bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi. Agar supaya pembagian gaji seperti tersebut benar-benar dilaksanakan, maka pejabat wajib mengatur tata cara penyerahan bagian gaji kepada masing-masing pihak yang berhak melalui saluran dinas. Pegawai Negeri Sipil pria yang menolak melakukan pembagian gaji menurut ketentuan yang berlaku dan atau tidak mau menandatangani daftar gajinya sebagai akibat perceraian dijatuhi hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Pegawai Negeri Sipil Pria Yang Akan Beristeri Lebih Dari Seorang
Undang-undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut azas monogami, yaitu seorang pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun hanya apabila dipenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan seorang pria dimungkin-kan beristeri lebih dari seorang, apabila ajaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan apabila memenuhi syarat-syarat alternatif dan syarat-syarat kumulatif sebagai berikut. Syarat alternatif, yaitu :

  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Syarat kumulatif, yaitu :

  1. ada persetujuan tertulis dari isteri
  2. Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan
  3. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila dipenuhi sekurang-kurangnya satu dari semua syarat alternanif, dan semua syarat kumulatif yang ada. Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang wajib memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat Permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang ditolak apabila:

  1. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianutnya/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang di hayatinya,
  2. Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat alternatif,
  3. Bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
  4. Alasan yang dikemukakan untuk beristeri lebih dari seorang bertentangan dengan akal sehat, dan atau
  5. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan, yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

Penolakan atau pemberian izin untuk beristeri lebih dari seorang dinyatakan dengan surat keputusan pejabat.

Pegawai Negeri Sipil Wanita Tidak Diizinkan Menjadi Isteri Kedua/Ketiga/Keempat.
Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua, ketiga, atau keempat dari seorang pria yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil, maupun seorang pria yang bukan Pegawai Negeri Sipil. Seorang wanita yang berkedudukan sebagai isteri kedua/ketiga/keempat tidak dapat melamar menjadi calon Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wanita yang setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ternyata berkedudukan sebagai isteri kedua/ketiga/keempat dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Tertentu Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian dan Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan menikah lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai:

  1. Menteri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Keperesidenan, Pimpinan Kesekretariat-an Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang bukan merupakan bagian dari Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Gubernur, dan Wakil Gubernur, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
  2. Bupati, Walikota, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri,
  3. Pimpinan/Direksi Bank Milik Negara dan Pimpinan/Direksi Badan Usaha Milik Negara, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
  4. Pimpinan/Direksi Bank Milik Daerah dan Pimpinan/Direksi Badan Usaha Milik Daerah, wajib mempereloh izin terlebih dahulu dari Gubernur/Bupati/ Walikota yang bersangkutan,
  5. Anggota Lembaga Negara/Komisi wajib memper-oleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
  6. Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Bupati yang bersangkutan.

Hidup Bersama Di Luar Ikatan Perkawinan Yang Sah
Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah. Yang dimaksud hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah adalah melakukan hubungan sebagai suami isteri dengan wanita yang bukan isterinya atau pria yang bukan suaminya seolah-olah merupakan suatu rumah tangga. Setiap pejabat yang mengetahui atau menerirna laporan adanya Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya melakukan hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah, wajib memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk diperiksa. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pejabat atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Apabila dari hasil pemeriksaan itu ternyata bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan memang benar melakukan hidup bersama di luar ikatanperkawinan yang sah, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi Pegawai Negeri Sipil dan atau atasan/pejabat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, apabila melakukan satu atau lebih perbuatan sebagai berikut.

  1. Tidak memberitahukan perkawinan pertamanya secara tertulis kepada pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan berlangsung,
  2. Melakukan perceraian tanpa memperoleh izin tertulis bagi yang berkedudukan sebagi penggugat, atau tanpa surat keterangan bagi yang berkedudukan sebagai tergugat, terlebih dahulu dari pejabat,
  3. Beristeri lebih dari seorang tanpa memperoleh izin tertulis dahulu dari pejabat,
  4. Melakukan hidup bersama di luar perkawainan yang sah dengan wanita yang bukan isterinya atau dengan pria yang bukan suaminya.
  5. Tidak melaporkan perceraiannya kepada pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah terjadinya perceraian,
  6. Tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat kepada pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan dilangsungkan,
  7. Setiap atasan yang tidak memberikan pertimbangan dan tidak meneruskan permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian, dan atau permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ia menerima permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian,
  8. Pejabat yang tidak memberikan keputusan terhadap permintaan izin perceraian atau tidak memberikan surat keterangan atas pemberitahuan adanya gugatan perceraian, dan atau tidak memberikan keputusan terhadap permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah ia menerima permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian.
  9. Pejabat tidak melakukan pemeriksaan dalam hal mengetahui adanya Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama di luar perkawinan yang sah.

Laporan Mutasi Keluarga
Mutasi keluarga adalah semua perubahan yang terjadi pada susunan keluarga Pegawai Negeri Sipil yang meliputi perkawinan, perceraian, kelahiran anak, kematian suami/isteri, dan kematian anak Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wajib melaporkan setiap mutasi keluarga kepada pejabat. Dalam rangka penyelenggara-an dan pemeliharaan manajemen informasi kepegawaian setiap pejabat wajib melaporkan setiap mutasi keluarga Pegawai Negri Sipil kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara. Kartu Isteri/Suami Kepada setiap isteri Pegawai Negeri Sipil diberikan Kartu Isteri disingkat KARIS, dan kepada setiap suami Pegawai Negeri Sipil diberikan Kartu Suarni disingkat KARSU. KARIS/KARSU adalah kartu identitas isteri/suami sah dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. KARIS/KARSU berlaku selama pemegangnya menjadi isteri/suami sah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. KARIS/KARSU Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nornor 8 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 ditetapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara. Pendelegasian Wewenang Pejabat dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat lain dalam lingkungannya serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau yang setingkat dengan itu mengenai penolakan atau pemberian izin atau surat keterangan untuk melakukan perceraian atau beristeri lebih dari seorang bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pengatur Tingkat I golongan ruang II/d ke bawah dan yang setingkat dengan itu.

Bahan bacaan :

  1. Undang-undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
  5. Surat Edaran Kepala Badan Admisnistrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
  6. Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Baai Peaawai Neaeri Sivil.

Selasa, 24 November 2015

KEWAJIBAN DAN HAK PENGHULU

Tidak ada komentar:

PENGHULU, ANTARA KEWAJIBAN DAN HAK





Dikalangan umat Islam tidak ada yang tidak kenal dengan sebutan penghulu Orang tua remaja bahkan sampai anak anak sekalipuntahu atau setidaknya pernah mendengar kosa kata tersebutMengapabegitu dikenal?   karena mereka semua, termasuk kita, pernah berhubungan dengan penghulu, baik sekali ataupun lebih.Sekali bagi mereka yang menikah sekali. Dua kali atau lebih bagi mereka yang menikah lebih dari sekali atau bagi para orang tua yang menikahkan anak-anaknya.

Keberadaan penghulu sebagai salah satu pejabat dalam pemerintahan memang telah ada sejak jaman kerajaan Islam baik di Jawa maupun diluar jawa, Pada jaman kerajaan Islam penghulu adalah sosok yang mempunyai kelebihan secara keilmuan dan spriritual.Dia adalah penasehat spiritual raja, penafsir mimpi raja serta dialah pula yang mengambil sumpah pelantikan seprang raja. Bidang yang menjadi urusan penghulu adalah seluruh urusan agama yaitu ibadah, pengadilan, munakahat dan dakwah agama. Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda menerapkan struktur Penghulu Agung untuk tingkat pusat; Penghulu kepala ( belanda: Hoofd Penghulu ); dan tingkat kecamatan dengan nama Penghulu atau Naib. Penghulu identik dengan pernikahan, sebab ada pernikahan berarti ada penghulu. Itu jika dimaknai penghulu secara sempit.  Padahal kenyataannya tidak demikian.

Penghulu  yang sekarang menduduki  jabatan fungsional dan jabatan karir pada awalnya bernama Wakil Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan pasal 2 Undang Undang no 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.Setelah berjalan kurang lebih 40 tahun muncul gagasan untuk menjadikan peran PPN dan wakil PPN sebagai jabatan karir dan jabatan funsional penghulu, dengan lahirnya KMA477 tahun 2004 tentang pencatatan nikah. Terakhir dengan peraturan Mentri Agama RI no 11 tahun 2007  sebutan wakil PPN diganti dengan sebutan Penghulu.

Kalau kita teropong lebih jauh lagi akan makna besar dari penghulu yang saat ini berada pada koridor aturan pemerintah ( Kementrian Agama ),misalnya  Permen PAN nomor : PER/62/M.PAN/6/2005,Penghulu adalah pejabat fungsional PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan NR menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. ; Perpres RI nomor 73 tahun 2007 Penghulu adalah pegawai pencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 1 tahun 1974 dan  PMA nomor 11 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3  menjelaskan bahwa Penghulu adalah PNS yang diberi tugas tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/ rujuk menurut agama islam dan kegiatan kepenghuluan.

Tugas pokok penghulu  ( Kepmen PAN nomor : PER/62/M.PAN/6/2005 pasal 4 : a.  Melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan;     b. Pengawasan pencatatan NR; c. Pelaksanaan pelayanan NR; d. Penasehatan dan Konsultasi; e. Pemantauan pelanggaran ketentuan NR; f. Pelayanan fatwa hukum munakahat dan Bimbingan muamalah; g. Pembinaan keluarga sakinah ; h. Pemantauan dan Evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. Dengan begitu penghulu saat ini adalah pejabat fungsional dengan spesialis pelayanan di bidang munakahat. Bagi penghulu melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi.Sebagai seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Kementrian Agama  yang telah diberikan gaji ( hak upah  )-nya, kewajiban tersebut tentunya harus dilakukan dengan senantiasa  berpegang erat kepada peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas kepenghuluannya.

Pelayanan  yang harus diberikan penghulu kepada masyarakat yaitu melayani keinginan masyarakat yang bermaksud melaksanakan pernikahan dengan sebaik-baiknya. terlepas pelaksanaan akad nikahnya akan diadakan di KUA  atau keinginan masyarakat dilaksanakan di luar kantor, apakah di rumah mempelai wanita ataupun pelaksanaanya di gedung atau di hotel, semua harus dilayani dengan sebaik baiknya sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI no 11 tahun 2007   pasal 21  ayat 1 : Akad Nikah dilaksanakan di KUA;  Ayat 2: Atas permintaan Calon mempelai dan atas persetujuan PPN akad nikah dapat dilaksanakan diluar KUA.

Akad nikah dilangsungkan di KUA pada hari kerja jam kerja yang waktunya ditentukan oleh PPN, biaya pencatatan hanya Rp. 30.000,- dengan persyaratan dan ketentuan berlaku, yaitu  setiap calon mempelai harus menyetorkan sendiri biayanya ke Bank yang ditunjuk; bahwa untuk persyaratan pendaftaran calon mempelai harus melengkapi dengan Surat keterangan untuk nikah ( N1 ), surat keterangan asal usul ( N2 ) dan surat keterangan tentang orang tua ( N4 ) yang semuanya harus dibuat di kelurahan / desa. Untuk mendapatkan surat keterangan itu, yang bersangkutanterlebih dahulu harus melapor ke pengurus RT dan RW setempat sekaligus mendapatkan surat pengantarnya. Persyaratan lainnya, setiap calon mempelai harus mengikuti Kursus Bimbingan Calon Mempelai di KUA    dalam kurun 10 hari sebelum dilaksanakan akad.

Persoalan kemudian muncul tatlkala masyarakat tidak ingin direpotkan oleh pengurusan persyaratan-persyaratan seperti yang diungkapkan di atas.  Karakter masyarakat kita yang serba ingin praktislebih cenderung memilih yang serba instant , atau  “ tau beres ”  dengan berbagai alasan entahkarena sibuk pekerjaan ataupun alasan lainnya.

 Sebagian masyarakat memiliki budaya ingin dilayani dalam segala hal termasuk pengurusan persyaratan  pendaftaran nikah yang berimplikasi kepada keluarnya biaya jasa pengurusan surat-surat untuk  mendaftarkan pernikahan. Akibatnya,orang yang diminta jasa menguruskan persyaratan pendaftaran nikah  menerima uang jasa yang besarannya disepakati antara calon mempelai dengan si penjual jasa tersebut. Orang  yang biasa memberikan jasa membantu pengurusan surat surat itu mayoritas dilakukan oleh P3N sebagai aparat kelurahan / desa yang di SK oleh Kemenag.

Kepala KUA / Penghulu sebelum menerima pendaftaran nikah terlebih dahulu memeriksa kelengkapan persyaratan baik secara administrasi maupun syariat-nya, kemudian memberikan bimbingan kepada calon mempelai, menghadiri akad nikah dan mencatat peristiwa pernikahan tersebut. Dalam peristiwa akad nikah yang dilangsungkan diluar KUA ( apakah di rumah atau di gedung / hotel ) seringkali Penghulu diminta untuk memandu acara, menyampaikan khutbah nikah dan membacakan do’a, terkadang pula menjadi pengatur acara / mc bahkan  menjadi penerima atau  menyerahkan calon pengantin, artinya bahwa penghulu saat itu bisa multi fungsi sesuai permintaan masyarakat.

Sebagai PNS, penghulu apabila mencatat pernikahan yang dilaksanakan di KUA tidak ada masalah karena memang itu kewajibannya untuk menghadiri dan mencatat pernikahan. Masalah muncul ketika masyarakat / calon pengantin meminta akadnya dilaksanakan di luar KUA dan diluar jam kerja. Masalah inilah yang menjadi isu kontroversialbelakangan ini. Peristiwa ditahannya Kepala KUA di Kediri dengan tuduhan menerima gratifikasi dengan ancaman tuntutan jaksa 18 tahun semakin menyulut reaksi keras dari berbagai kalangan, khususnya para penghulu.

Saat pengantin menginginkan akad nikahnya dilaksanakan di luar KUA dan hari libur, maka  banyak hal yang harus direnungkan oleh kita bersama. Seperti kita ketahui bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban pribadi sebagai manusia, sebagai kepala rumah tangga,suami dan bahkan sebagai seorang ayah. Penghulu sebagai seorang suami dan seorang kepala rumah tangga dalam keluarganya mempunyai hak untuk berkumpul bersama keluarga bermain dan bersendagurau.Itu sudah menjadi hak asasi setiap manusia, siapapun dia dan apapun jabatannya. Akan tetapi saat Penghulu dihadapkan kepada tuntutan harus melakukan tugas pencatatan nikah diluar kantor dan diluar jam kerja, hak asasi tersebut  seolah olah dianggap tidak ada atau diabaikan.

Berhitung secara matematis penghargaan sebesar apa yang dapat diterima oleh penghulu untuk mengganti hak pribadi dan keluarganya yang hilang tersebut? Berapa besar calon mempelai harus memberi kepada Ustadz / Kyai yang menyampaikan khutbah nikah  dan membaca doa?  Kemudian jika saja dalam prosesi pernikahan tersebut keluarga pengantin tidak mempersiapkan Kyai/Ustadz untuk menyampaikan Khutbah nikah dan nasehat pernikahan serta Ustadzsebagai Pembaca Do’anya, maka bisa dibayangkan berapa besar nilai yang seharusnya diberikan kepada penghulu yang merangkap tugas tersebut  sebagai ungkapan terimakasihnya ?

Apakah naïf jika keluarga  mempelai memberikan sebahagiaan rezekinya kepada penghulu sebagai ungkapan tanda terimakasih atas pengambilan hak waktu  pribadi dan keluarganya, apakah haram memberikan sebagian rezekinya kepada penghulu yang telah menyampaikan khutbah nikah, nasehat pernikahan dan meminpin do’a kepada mempelai? Kalau itu sudah haram dan gratifikasi maka tepat jika Asosiasi Penghulu Jawa madura komitmen mulai Januari untuk tidak menghadiri akad nikah di luar KUA, persoalannya apakah masyarakat umum menerima dan bersedia ?? Silahkan direnungkan….

Senin, 23 November 2015

TUGAS POKOK DAN FUNGSI PENGHULU

Tidak ada komentar:

TUGAS POKOK DAN FUNGSI PENGHULU 





 I. PENDAHULUAN 


1. Tugas pokok Departemen Agama adalah menyelenggarakan sebagian tugas umum pemeintahan dan pembangunan di bidang agama.Dan salah satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan bagi umat Islam,sebagaimana diamanatkan oleh UU No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Berdasarkan kedua UU tersebut, petugas yang melaksanakan pelayanan masyarakat di bidang perkawinan tersebut adalah Pegawai Pencatat Nikah ,yang dikenal dengan sebutan Penghulu.

3. Kebijakan Departemen Agama berupaya meningkatkan profesionalisme penghulu melalaui pembentukan jabatan fungsional penghulu sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil. Dengan kebijakan tersebut, para penghulu sebagai pegwi pencatat nikah akan termotivasi untuk bekerja secara professional dan penuh kedisiplinan untuk melaksakan tugasnya dan pengembangan karirnya sebagai pegawai negeri sipil yang memangku jabatan penghulu secara maksimal.

4. Dengan peraturan MENPAN Nomor;PER/62/M.PAN/6/2005, telah ditetapkan pegawai pencatat nikah sebagai jabtan fungsional penghulu di lingkungan Departemen Agama dengan kriteria sebagai berikut;

a. Mempunyai metodologi, tehnis analisis, tehnik dan prosedur kerja yang didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan,dan atau pelatihan tehnis tertentu dengan sertifikasi.

b. Memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organissi profesi.

c. Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan keahlian dan jabatan fungsional ketrampilan.

d. Pelaksanaan tugas bersifat mandiri.

e. Jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.

II. TUGAS POKOK DAN FUNGSI 


 A. TUGAS POKOK PENGHULU 


 Tugas pokok Penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan,pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/ rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/ rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat, dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. ( Peraturan MENPAN Nomor:PER/62/M.PAN/6/2005 )

 B. FUNGSI PENGHULU 


1. Pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah / rujuk bagi umat Islam.

2. Pelaksanaan Nikah Wali Hakim *)

3. Pengawasan kebenaran peristiwa nikah / rujuk,

4. Pembinaan hukum munakahat

5. Pembinaan calon pengantin,

6. Pembinaan keluarga sakinah.

 *) Berdasarkan PMA RI No.30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim ,bahwa yang ditunjuk sebagai Wali Hakim ialah Kepala KUA Kecamatan setempat. Jika Kepala KUA yang bersangkutan berhalangan ,Kepala Seksi Urusan Agama Islam atau Kepala Seksi yang sejenis atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota menunjuk salah satu Penghulu di KUA Kecamatan tersebut atau KUA Kecamatan terdekat sebagai Wali Hakim. 

 III. TUGAS PENGHULU PERTAMA 


 1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan.

2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan kepenghuluan.

3. Melakukan pendaftaran dan meneliti kelengkapan administrasi pendaftaran kehendak nikah / rurjuk.

4. Mengolah dan memverifikasi data calon pengantin.

5. Menyiapkan bukti pendaftaran nikah / rujuk.

6. Membuat materi pengumuman peristiwa nikah / rujuk dan mempublikasikan melalui media.

7. Mengolah dan menganalisis tanggapan masyarakat terhadap pengumuman peistiwa nikah / rujuk.

8. Memimpin pelaksanaan akad nikah / rujuk melalui proses menguji kebenaran syarat dan rukun nikah / rujuk dan menetapkan legalitas akad nikah / rujuk.

9. Menerima dan melaksankan taukil wali nikah / tauliyah wali hakim.

10. Memberikan khutbah / nasihat / doa nikah / rujuk.

11. Memandu pembacaan sighat taklik talak.

12. Mengumpulkan data kasus pernikahan.

13. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah / rujuk.

14. Mengidentifikasi kondisi keluarga pra sakinah.

15. Mengidentifikasi Keluarga Sakinah I.

16. Membentuk kader pembina keluarga sakinah.

17. Melatih kader pembina keluarga sakinah.

18. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga sakinah.

19. Memantau dan mengevaluasi kegiatan kepenghuluan.

20. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.

 IV. TUGAS PENGHULU MUDA


1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan.

2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan kepenghuluan.

3. Meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah dan saksi di Balai Nikah.

4. Meneliti kebnaran data calon pengantin, wali nikah dan saksi di luar Balai Nikah.

5. Meneliti kebenaran data pasangan rujuk dan saksi.

6. Melakukan penetapan dan atau penolakan kehendak nikah / rujuk dan menyampaikannya.

7. Menganalisis kebutuhan konseling / penasihatan calon pengantin.

8. Menyusun materi dan desain pelaksanaan konseling / penasihatan calon pengantin.

9. Mengarahkan / memberikan materi konseling / penasihatan calon pengantin.

10. Mengevaluasi rangkaian kegiatan konseling / penasihatan calon pengantin.

11. Memimpin pelaksanaan akad nikah / rujuk melalui proses menguji kebenaran syarat dan rukun nikah / rujuk dan menetapkan legalitas akad nikah / rujuk.

12. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah / tauliyah wali hakim.

13. Memberikan khutbah / nasihat / doa nikah / rujuk.

14. Memandu pembacaan sighat taklik talak.

15. Mengidentifikasi, memverifikasi, dan memberikan solusi terhadap pelanggaran ketentuan nikah / rujuk.

16. Menyusun monografi kasus.

17. Menyusun jadwal penasihatan dan konsultasi nikah / rujuk.

18. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah / rujuk.

19. Mengidentifikasi permasalahan hukum munakahat.

20. Menyusun materi bimbingan muamalah.

21. Menbentuk kader pembimbing muamalah.

22. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah II

23. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III

24. Menyusun materi pembinaan keluarga sakinah.

25. Membentuk kader pembina keluarga sakinah.

26. Melatih kader pembina keluarga sakinah.

27. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga sakinah.

28. Memantau dan mengevaluasi kegiatan kepenghuluan.

29. Menyusun materi bahsul masail munakahat dan ahwal as syakhsiyah.

30. Melakukan uji coba hasil pengembangan metode penasihatan, konseling dan pelaksanaan nikah / rujuk.

31. Melakukan uji coba hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah / rujuk.

32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.

 V. TUGAS PENGHULU MADYA 


1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan.

2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan kepenghuluan.

3. Memimpin pelaksanaan akad nikah / rujuk melalui proses menguji kebenaran syarat dan rukun nikah / rujuk dan menetapkan legalitas akad nika / rujuk.

4. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/ tauliyah wali hakim.

5. Memberikan khutbah / nasihat / doa nikah / rujuk.

6. Memandu pembacaan sighat taklik talak.

7. Menganalisis kasus dan problematika rumah tangga.

8. Menyusun materi dan metode penasihatan dan konsultasi.

9. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah / rujuk.

10. Mengidentifikasi pelanggaran peraturan perundangan nikah / rujuk.

11. Melakukan verifikasi pelanggaran ketentuan nikah / rujuk.

12. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan nikah / rujuk.

13. Mengamankan dokumen nikah / rujuk.

14. Melakukan telaahan dan pemecahan masalah pelanggaran ketentuan nikah / rujuk.

15. Melaporkan pelanggaran kepada pihak yang berwenang.

16. Menganalisis dan menetapkan fatwa hukum.

17. Melatih kader pembimbing muamalah.

18. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III plus.

19. Menganalisis bahan / data pembinaan keluarga sakinah.

20. Membentuk kader pembina keluarga sakinah.

21. Melatih kader pembina keluarga sakinah.

22. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga sakinah.

23. Memantau dan mengevaluasi kegiatan kepenghuluan.

24. Melaksanakan bahsul masail dan ahwal as syakhsiyah.

25. Mengembangkan metode penasihatan, konseling dan pelaksanaan nikah / rujuk.

26. Merekomendasi hasil pengembangan metode penasihatan, konseling pelaksanaan nikah / rujuk.

27. Mengembangkan perangkat dan standar pelayanan nikah / rujuk.

28. Merekomendasi hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah / rujuk.

29. Mengembangkan sistim pelayanan nikah / rujuk.

30. Mengembangkan instrumen pelayanan nikah / rujuk.

31. Menyusun kompilasi fatwa hukum munakahat.

32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.


VI. KOMPETENSI PENGUHULU 


Agar mampu melaksanakan tugas sebagaimana yang telah ditentukan, pegawai pencatat nikah yang memangku jabatan fungsional penghulu harus memiliki kompetensi;

 A. Unsur Utama 


1. Kualifikasi pendidikan,

2. Kemampuan pelayanan dan konsultasi nikah / rujuk,

3. Pengembangan kepenghuluan,

4. Pengembangan profesi penghulu.

 B. Unsur Penunjang 


1. Pembelajaran dan atau pelatihan di bidang kepenghuluan dan hukum Islam,

2. Keikutsertaan dalam seminar, lokakarya dan konferensi,

3. Keanggotaan dalam organisasi profesi penghulu,

4. Keanggotaan dalam Tim Penilai jabatan fungsional penghulu,

5. Keikutsertaan dalam pengabdian masyarakat,

6. Keanggotaan dalam delegasi misi keagamaan,

7. Perolehan penghargaan / tanda jasa,

8. Perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
 
back to top