Senin, 22 Agustus 2016

4 komentar:
Assalamualaikum Wr. Wb.

Buat teman-teman penghulu barangkali ada yang membutuhkan file Copy SK Pokjahulu Brebes Masa Bakti 2015-2018 silakan unduh file terlampir.

Wassalamu'alaikum Wrb. Wb.

Rabu, 09 Maret 2016

BAHTSUL MASAIL POKJAHULU BREBES 2016

Tidak ada komentar:







BAHTSUL MASAIL
KEPALA  DAN PENGHULU KUSE- KABUPATEN BREBES
DI KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN BREBES
Tanggal 16 Februari 2016 M. / 7 Jumadil awal 1437 H.



I.                   PERMASALAHAN PERTAMA

Deskripsi masalah
Nikah merupakan salah satu dari tiga hal yang oleh Rasulullah dikatakan tidak boleh dipermainkan. Sementara saat ini berkembang gejala yang cenderung menggampangkan masalah pernikahan, sehingga KUA sebagai lembaga yang secara sah oleh undang-undang ditunjuk sebagai pihak yang melaksanakan pencatatan peristiwa nikah bagi warga Indonesia yang beragama Islam sering dihadapkan pada dilema permasalahan yang dibaratkan seperti buah simalakama. Pasangan pengantin baik yang sudah mendaftarkan maupun belum mendaftarkan rencana pernikahan dirinya di KUA sudah dinikahkan oleh seseorang, sementara pada waktu peristiwa pernikahan tersebut tidak dihadiri/disaksikan oleh petugas dari KUA.

Pertanyaan:

a.       Bolehkah pihak KUA MENIKAHKAN KEMBALI pasangan yang telah dinikahkan oleh seseorang ?
b.      Apakah TAJDIDUNNIKAH yang dilaksanakan oleh KUA secara hukum diperbolehkan atas alasan untuk menguatkan walaupun yang menikahkan pasangan tersebut merupakan ulama yang sudah diketahui kapasitasnya ?

c.       Ada pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan keduanya dalam keadaan masih sebagai suami istri sah merupakan pengakuan atas jatuhnya talak satu ?
d.      Kalaupun diperbolehkan TAJDIDUNNIKAH apakah suami perempuan tersebut harus menyiapkan MAS KAWIN lagi ?
e.       Bagaimana LAFAZ IJAB KOBUL pada TAJDIDUNNIKAH ?

Jawaban :

a.       Boleh, dan tidak merusak pernikahan yang pertama.
Pengambilan (Ma’khadz) dari :

1.                            Kitab Tuhfah al muhtaj


أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلاً لاَ يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ اْلأُولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ إِلَى أَنْ قَالَ وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَجَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْهُ.
“Sesungguhnya persetujuan murni suami atas akad nikah yang kedua (memperbaharui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggungjawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas s/d ...... sedangkan apa yang dilakukan suami disini ( dalam memperbaharui nikah) semata – mata untuk memperindah atau berhati – hati ( Tuhfah al Muhtaaj VII/391)
2.                             Hasyiyat al-Jamal ‘ala al-Manhaj 

وعبارته: لأن الثاني لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا 
للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ
“ Karena akad yang kedua ( Pembaharuan nikah ) tidak dikatakan benar – benar akad, namun itu adalah gambaran akad (pertama), berbeda dengan pendapat yang ditampakan dalam Al Anwar li A’mal al Abror. Dan termasuk yang menjadi dalil dalam masalah saya ini apa yang diterangkan dalam Fathul bari tentang pendapat Al Bukhori sampai dia berkata, berkata Ibnu al Munir hadis ini memberi pengertian bahwa mengulang lafal akad nikah dan lainnya bukanlah fasakh (merusak) akad yang pertama berbeda dengan apa yang diklaim sebagian syafi iyah, saya berpendapat yang benar menurut syafiiyah adalah tidak merusak (akad pertama) sebagaimana pendapat jumhur ulama (Intaha)”  (Hasyiyat al-Jamal ‘ala al-Manhaj juz 4 halaman 245).
3.                            Hadits Shohih Bukhori
Dan seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Munir adalah hadits yang diriwayatkan Salamah rodhiyallohu 'anha ;

بَايَعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ؟»
، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ،

 قَالَ: وَفِي الثَّانِي
“Ketika itu Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.” (Shohih Bukhori, no.7208)


 6782 - قوله عن سلمة تقدم في باب البيعة في الحرب من كتاب الجهاد من رواية المكي بن إبراهيم حدثنا يزيد بن أبي عبيد عن سلمة بأتم من هذا السياق وفيه بايعت النبي صلى الله عليه و سلم ثم عدلت إلى ظل شجرة فلما خف الناس قال يا بن الأكوع ألا تبايع قوله قد بايعت في الأول قال وفي الثاني والمراد بذلك الوقت وفي رواية الكشميهني في الأولى بالتأنيث قال وفي الثانية والمراد الساعة أو الطائفة ووقع في رواية مكي فقلت قد بايعت يا رسول الله قال وأيضا فبايعته الثانية وزاد فقلت له يا أبا مسلم على أي شيء كنتم تبايعون يومئذ قال على الموت وقد تقدم البحث في ذلك هناك وقال المهلب فيما ذكره بن بطال أراد أن يؤكد بيعة سلمة لعلمه بشجاعته وعنائه في الإسلام وشهرته بالثبات فلذلك امره بتكرير المبايعة ليكون له في ذلك فضيلة قلت ويحتمل ان يكون سلمة لما بادر إلى المبايعة ثم قعد قريبا واستمر الناس يبايعون إلى ان خفوا أراد صلى الله عليه و سلم منه ان يبايع لتتوالى المبايعة معه ولا يقع فيها تخلل لأن العادة في مبدأ كل أمر أن يكثر من يباشره فيتوالى فإذا تناهى قد يقع بين من يجيء آخرا تخلل ولا يلزم من ذلك اختصاص سلمة بما ذكر والواقع ان الذي أشار إليه بن بطال من حال سلمة في الشجاعة وغيرها لم يكن ظهر بعد لأنه انما وقع منه بعد ذلك في غزوة ذي قرد حيث استعاد السرح الذي كان المشركون اغاروا عليه فاستلب ثيابهم وكان آخر أمره أن أسهم له النبي صلى الله عليه و سلم سهم الفارس والراجل فالأولى أن يقال تفرس فيه النبي صلى الله عليه و سلم ذلك فبايعه مرتين وأشار بذلك إلى انه سيقوم في الحرب مقام رجلين فكان كذلك وقال بن المنير يستفاد من هذا الحديث ان اعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لا يكون فسخا كما قال الجمهور 


4.    Fathul bari juz 13 hal. 166 Ibnu Hajar al-Asqolani
Ketika memberi syarah pada hadits di bawah ini:
6782 - حدثنا أبو عاصم عن يزيد بن أبي عبيد عن سلمة قال
 : بايعنا النبي صلى الله عليه و سلم تحت الشجرة فقال لي ( يا سلمة ألا تبايع ) . قلت يا رسول الله قد بايعت في الأول قال
( وفي الثاني )
Keterangan :
Secara Undang-undang justru Pernikahan secara siri tidak diakui, maka PPN atau Penghulu berhak untuk melaksanakan Tajdid Nikah dengan dengan  berpedoman kepada pasal 6 Undang – Undang No.1 tahun 1974 yang menyatakan :
“(1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai pencatat Nikah.
(2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawi pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”
Atas dasar UU No.1 tahun 1974, PPN dan Penghulu hampir dipastikan akan meminta kedua orang yang mendaftar kehendak nikahnya untuk melakukan akad nikah lagi dihadapannya, dan ini juga sesuai dengan kaidah fiqh
الاصل بقاء ما كان علي ما كان
“Sesuatu itu tetap pada keadaan asalnya”
Bukankah ketika calon pengantin  mendaftarkan kehendak nikahnya mereka berstatus jejaka/perawan atau duda/janda? Jadi keadaan awal mereka adalah lajang belum menikah, maka yang diyakini Penghulu dan PPN adalah keadaan semula yaitu belum menikah.

b.       Boleh, Ma’khadz  sama dengan di atas, Kebanyakan Ulama terutama Ulama Syafiiyah berpendapat mengulangi akad nikah tidak mengakibatkan fasakhnya akad nikah pertama.
Memang ada Ulama yang berpendapat bahwa Tajdid Nikah merupakan pengakuan jatuhnya talak satu seperti Yusuf al-Ardabili al-Syafii ulama terkemuka mazhab Syafii (wafat 779 H) sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya al-Anwar li A’mal al-anwar II: 156
 “ Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) talaq, Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhalil”.

c.    Tidak Perlu Membayar Mahar lagi (mahar sama dengan Akad nikah pertama),
Ma’khadz (referensi)
Fathul Wahab (Juz III Hal 413)
“ Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sir (sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu , kemudian diulang kembali akadnya secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya adalah seribu.”.

d.    Lafadz ijab qobul Tajdid nikah sama dengan pernikahan biasa, karena tujuan Tajdid nikah hanyalah Tajammul dan Ikhtiyat
Pengambilan ( Ma’khadz) dari :
Kitab Tuhfah al-muhtaj (Juz VII Hal. 391)


II.                PERMASALAHAN KEDUA

Deskripsi Masalah

Kehidupan rumah tangga tidak terlepas dari problem, besar kecilnya problem tergantung cara pandang yang bersangkutan. Dalam menghadapi permasalahan rumah tangga tidak hanya saat menghadapi problem besar, pada saat menghadapi problem kecilpun kadang seorang suami entah karena dorongan emosi atau dorongan spontanitas mengucapkan kata talak terhadap istrinya.

Pertanyaan:

a.    Apakah sah talak yang ucapkan oleh suami dalam KEADAAN EMOSI ?
b.    Apakah sah talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan sadar tetapi TIDAK DI HADAPAN QODHI (dalam hal ini Pengadilan Agama) ?
c.    Kalaupun ucapan talak yang keluar dari mulut suami DIANGGAP TIDAK SAH kalau diucapkan tidak di depan Hakim Pengadilan Agama, bagaimana dengan hadits yang melarang mempermainkan talak ?
d.    Apakah pemberian surat akta cerai WALAUPUN PALSU oleh pihak suami SUDAH DIANGGAP JATUH TALAK


Jawaban :

a.      diTafsil

Menurut Wahbah Zuhaili marah (ghadhab) ada dua:
1.      Marah biasa; Marah yang tidak sampai menghilangkan kesadaran atau akal.
2.      Marah yang sangat (شدة الغضب), marah yang dapat menghilangkan kesadaran atau akal  (زائل العقل) (Fikh al-islam wa adilatuhu, 9/343)
a.1  Tetap Jatuh Talaqnya jika dalam keadaan marah biasa
Pengambilan (Ma’khadzi ) dari :
Hadits  riwayat Mujahid, bahwa Ibnu Abbas RA didatangi seorang lelaki yang berkata,”Saya telah menjatuhkan talak tiga kali pada isteriku dalam keadaan marah.” Ibnu Abbas menjawab,”Aku tak bisa menghalalkan untukmu apa yang diharamkan Allah. Kamu telah mendurhakai Allah dan isterimu telah haram bagimu.” (HR Daruquthni, 4/34).

 a.2 Tidak jatuh talaqnya jika dalam keadaan marah yang sangat (شدة الغضب), marah yang dapat menghilangkan kesadaran atau akal  (زائل العقل)
Pengambilan (Ma’khadz)  dari :
Para fuqaha sepakat jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah yang sangat, talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf karena hilang akalnya (za`il al-aql), seperti orang tidur atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum. Dalilnya sabda Nabi SAW,“Diangkat pena (taklif) dari umatku tiga golongan : anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga waras.” (HR Abu Dawud no 4398).

قوله واتفقوا على وقوع الطلاق الغضبان] فى تركيب المشتاق سئل الشمس الرملى عن الحلف فى الطلاق حال الغضب الشديد المخرج عن الاشعار هل الطلاق ام لاوهل يفرق بين التعليق والتنجيز ام لا وهل يصدق الحالف في دعواه شدة الغضب وعدم الاشعار فاجاب بانه لاعتبار في الغضب فيها نعم ان كان زائل العقل عذر انتهى

Sayyid Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, 4/5;
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343; 
Kesimpulannya, suami yang menjatuhkan talak dalam keadaan marah dianggap tetap jatuh talaknya. Sebab kondisi marah tidak mempengaruhi keabsahan tasharruf (tindakan hukum) yang dilakukannya, termasuk mengucapkan talak. Kecuali jika kemarahannya mencapai derajat marah yang sangat, maka talaknya tidak jatuh.

b.      SAH, Talak yang dijatuhkan oleh suami yang baligh, berakal sehat dan tidak dipaksa مختار)), di depan Hakim/Pengadilan Agama atau tidak tetap SAH.
Pengambilan (Ma’khadz) dari:

1.      Al Muhadzab (Jilid II : 78)

 يصح الطلاق من كل زوج بالغ عاقل مختار
2.      Fathul Mu’in (Hal : 112)

(يقع طلاق) مختار (مكلف) اي بالغ عاقل (ومتعد بسكر) اي بشرب الخمر ......(لا)طلاق(مكره) بغير حق(بمحذور) .....( فثح المعين ص:112)

3.     Fikh Sunnah( Hal : 210 )
اثفق العلماء علي ان الزوج العاقل البالغ المختار هو الذي يجوز له ان يطلق وان طلاقه يقع
(فقه السنة ص:210)

4.    Abu Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab hlm. 17/68. 

 ويقع الطلاق في حال الرضى والغضب والجد والهزل، لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ” ثلاث جدهن جد، وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة ” رواه أصحاب السنن


Catatan :
Dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan  Bab VIII Pasal 39 ayat (1) disebutkan :
“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
UU ini mengikat semua warga RI tentu saja, sebagaimana ketentuan Agama Islam mengikat semua muslim. Karenanya warga muslim perlu memahami ketentuan ini; agar tidak terjadi, misalnya, seorang suami menjatuhkan talak –yang sudah sah menurut agama – masih terus berkumpul dengan “bekas” isterinya sambil menunggu keputusan Pengadilan.

c.       Tetap Sah Talaqnya meskipun diucapkan tidak di depan Hakim Pengadilan Agama
Ma’khadz (referensi) sama dengan Jawaban b.

d.      Tafsil,  Jika dalam membuat akta cerai palsu Suami membacakan/mengucapkan talaq secara shorih atau kinayah dan  niat dalam hati  maka jatuhlah talaqnya. Akan tetapi jika tidak mengucapkan dan tidak niat dalam hati maka tidak jatuh talaqnya. Karena lafadz talaq perlu dengan kata-kata (ucapan).

Pengambilan (Ma’khadz) dari :

المغني (16/ 480)
إذَا كَتَبَ الطَّلَاقَ ، فَإِنْ نَوَاهُ طَلُقَتْ زَوْجَتُهُ وَبِهَذَا قَالَ الشَّعْبِيُّ ، وَالنَّخَعِيُّ ، وَالزُّهْرِيُّ ، وَالْحَكَمُ ، وَأَبُو حَنِيفَةَ ، وَمَالِكٌ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الشَّافِعِيِّ

Jika suami menulis talak, jika dia meniatkan talak tersebut maka istrinya tertalak. Ini adalah pendapat Asy-Sya’by, An-Nakho’iy, Az-Zuhry, Al-Hakam, Abu Hanifah, Malik, dan statemen yang dikutip dari Asy-Syafi’I (Al-Mughni, vol. 16 hlm 480).
 jika talak ditulis, maka harus ada niat. Jika tidak ada niat talak, misalnya menulis lafadz talak sebagai latihan menulis indah, atau menulis kutipan ucapan orang lain dan niat-niat lain yang semisal, maka tulisan yang demikian tidak membuat jatuh talak. Ibnu Qudamah mengatakan;


Kamis, 03 Desember 2015

IJAB QABUL DAN PERMASALAHANNYA

Tidak ada komentar:
IJAB-QABUL DAN PERMASALAHANNYA








Pendahuluan


Puncak dari pelaksanaan akad nikah adalah ijab-qabul (yang merupakan rukun terakhir dari akad nikah). Sah atau tidaknya suatu akad nikah tergantung kepada sah atau tidaknya ijab-qabul yang dilakukan. Karenanya, tidak heran jika untuk melakukan ijab-qabul biasanya penghulu melakukan pengkondisian suasana dengan pembacaanistighfar, syahadat, dan shalawat. Tujuannya agaknya untuk menyiapkan hati, menghadirkan kalbu, dan meluruskan niat, agar ijab-qabul yang akan dilaksanakan dapat berlangsung dengan sempurna sesuai ketentuan syariat.
Langkah penghulu ini, selain taat terhadap juklak dan juknis pelaksanaan akad nikah yang telah dikeluarkan Departemen Agama, tentu juga sebagai tanggung jawab moral sebagai pelayan masyarakat untuk melakukan pelayanan prima. Masalahnya, terkadang penghulu dihadapkan kepada selera dan keinginan masyarakat yang berbeda tentang penyelenggaraan akad, khususnya ijab-qabul, karena berbedanya keyakinan madzhab yang dianut masyarakat
Makalah ini diharapkan menjadi informasi berharga bagi pelaksanaan tugas di lapangan. Di dalamnya dibahas mengenai masalah-masalah yang biasa timbul atau dimungkinkan timbul mengenai ijab-qabul. Antara lain masalah shighat (yang meliputi tiga masalah); masalah qabul yang dinyatakan sebelum ijab; masalah "cek-gur" (fauriyah); dan masalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh satu orang yang sama. Namun sebelumnya diurai terlebih dulu apa akad dan apa ijab-qabul.

Apa Akad dan Apa Ijab-Qabul

Secara bahasa, akad (العقد) berarti mengikat ujung suatu benda dengan ujung yang lainnya (الربط بين أطراف الشيء ) . Dalam konteks kehidupan, bermakna melakukan perikatan dengan orang lain (ارتبط مع شخص أخر).
Definisi Akad ini masih bermakna umum, karena melingkupi semua perikatan yang dilakukan manusia dengan sesamanya, yang dipilah menjadi dua: pertama, perikatan yang berupa wakaf, thalak, sumpah, dan yang sejenisnya, yang pelaksanaannya cukup dikemukakan maksudnya oleh satu pihak saja; kedua, perikatan yang berbentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai, nikah, dan sebagainya, yang mengharuskan kedua belah pihak yang melakukan perikatan mengemukakan maksudnya. Perikatan kelompok pertama dinamai dengan tasharruf, sedangkan perikatan yang kedua dikenal denganالعقد
(tapi) dalam makna yang khusus.

    Aqad dalam makna yang khusus ini didefinisikan dengan:

ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله


"Tersimpulnya ijab dan qabul dalam perkara yang dibenarkan syariat yang berkonsekwensi tetapnya akibat sesuai yang dikehendaki (dalam ijab-qabul)"

    Ijab dan qabul pada intinya merupakan perbuatan yang menunjukkan ridlonya kedua pihak yang melakukan akad (الفعل الدال على الرضا بالتعاقد). Dalam mendefinisikan ijabdan qabul, para ulama sedikit berbeda pendapat. 

Ijab oleh ulama Hanafiyah didefinisikan sebagai:

إثبات الفعل الخاص الدال على الرضا الواقع أولا من كلام أحد المتعاقدين أو ما يقوم مقامه

"Perbuatan tertentu yang dilakukan untuk menunjukkan keridloan, yang dinyatakan pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan akad atau orang yang mewakilinya."
Adapun qabul adalah:

ما ذكر ثانيا من كلام أحد المتعاقدين دالا على موافقه ورضاه بما أوجبه الأول

"Pernyataan kedua yang diungkapkan satu pihak (lainnya) yang melakukan akad, yang menunjukkan persetujuan dan keridloannya, sebagai jawaban dari pernyataan (ijab) pihak pertama." 

Definisi ulama Hanafiyah tersebut jelas mengharuskan bahwa ijab harus dinyatakan terlebih dahulu sebelum qabul; dan qabul tidak boleh mendahului ijab.
Sedangkan ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa ijab merupakan pernyataan dari orang yang mengalihkan hak, walaupun dilakukan belakangan (ما صدر ممن يكون منه التمليك وإن جاء مأخرا ); dan qabul adalah pernyataan dari orang yang diberi hak milik, walaupun dilakukan duluan (ما صدر ممن يصير له الملك وإن صدر أولا) .

    Dari definisi ijab dan qabul ini saja menimbulkan permasalahan, apalagi hal-hal lainnya yang lebih jauh.. Karenanya, ayo kita bawa masalah-masalah tersebut dalam poin bahasan selanjutnya.  

Masalah-Masalah Ijab-Qabul


Shighat Ijab-Qabul

Shighat adalah ungkapan orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginan dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan. Dengan definisi tersebut dapat digarisbawahi bahwa pada normalnya, shighat ijab-qabul harus diungkapkan dengan ucapan, tetapi jika tidak bisa melakukannya dengan ucapan, dapat menggunakan ungkapan lainnya seperti isyarat dan tulisan.

Ijab-Qabul dengan Ucapan

Ucapan merupakan alat utama untuk mengungkapkan maksud batin yang tersembunyi, yang paling banyak dipakai dalam akad karena kemudahannya, juga karena kekuatan dalalah dan faktor kejelasannya. Dengan kata-kata, maksud batin yang tersembunyi lebih mudah diungkapkan dengan jelas dan lebih mudah difahami, daripada menggunakan isyarat dan tulisan. 

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ucapan tersebut dapat menggunakan bahasa apa saja yang dimengerti oleh kedua pihak yang berakad. Hanya sedikit ulama yang mengharuskan ijab-qabul nikah dengan Bahasa Arab. Di antara ulama tersebut adalah Ibn Qudamah (seorang ulama Syafi'iyah), ia berpendapat, jika seseorang mampu berbahasa Arab tetapi kemudian tidak menggunakan Bahasa Arab dalam ijab-qabulnikah, maka akadnya tidak sah. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh ulama Hanabilah.

Pendapat ini timbul dari keyakinan bahwa akad nikah merupakan ibadah seperti halnya shalat. Karena ibadah, maka ijab-qabulnya harus menggunakan Bahasa Arab seperti yang digunakan Rasulullah saw., sebagaimana kalimat takbir
(الله أكبر)
dalam shalat tidak bisa mengunakan bahasa Indonesia (umpamanya): "Allah Maha Besar."
Jadi, masalahnya terletak pada apakah akad nikah itu merupakan ibadah mahdhahseperti shalat, atau seperti akad-akad layaknya jual-beli, gadai, sewa-menyewa, dan yang sejenisnya.

Masalah kemudian merembet kepada teknis penggunaan kata-katanya. Para ulama berbeda pikiran dalam kata yang harus digunakan dalam akad nikah. Ulama Hanafiyah membolehkan kata apa saja yang menunjukkan makna untuk mengalihkan (hak) kepemilikan, seperti kata "menikahkan" (tazwij dan nikah), atau kata "memindahkan kepemilikan" (tamlik), "memberikan" (hibah), atau "menshadaqahkan", dengan syarat niatnya harus nikah disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah nikah, seperti memberikan mas kawinnya. 
Sedangkan Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah memberikan syarat untuk sahnya akad nikah dengan harus digunakannya kata "nikah" (zawaja dan nakaha) saja dan semua kata yang berakar (yang dibentuk) darinya. 

Selanjutnya masalah diteruskan mengenai bentuk kata yang digunakan, apakah menggunakan bentuk lampau, bentuk sedang dan akanan (mudhari atau present danfuture tense), bentuk pertanyaan, ataupun bentuk perintah.

Para ulama sepakat mengenai penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi), seperti أنكحتكatau زوجتك, karena bentuk ini sudah biasa digunakan untuk maksud sedang (melakukan) dan bentuk yang digunakan Rasulullah saw. ketika menikahkan. Mereka juga bersepakat bolehnya menggunakan bentuk fi'il mudhari (yang mengandung arti sedang dan akan), seperti أنكحك atau أزوجك dengan syarat harus ada niat bahwa yang dikehendaki adalah arti sedang. Tetapi tidak sah jika ada penambahan huruf/kata سdan سوف , yang sudah pasti menunjukkan makna akan. Tidak sah juga akad yang ijab-qabulnya menggunakan bentuk pertanyaan. Alasannya, bentuk pertanyaan menunjukan makna akan.
Pada intinya, ijab-qabul yang bermakna akan adalah tidak sah, seperti ucapan wali dalam akad nikah, "Saya akan nikahkan engkau besok ...," atau ucapan calon pengantin laki-laki, "Saya akan terima menikah satu bulan lagi ...."
Mengenai penggunaan bentuk perintah akan terbahas pada masalah "QabulDinyatakan Sebelum Ijab"

Ijab-Qabul dengan Isyarat dan Tulisan

Madzhab Syafi'iyah dan Hanafiah hanya membolehkan ijab-qabul dilakukan dengan isyarat bagi orang yang tidak bisa berbicara (karena bisu atau karena sebab lainnya). Jika orang yang dapat berbicara melakukan ijab-qabul dengan isyarat, maka dianggap tidak sah, karena isyarat dianggap kurang meyakinkan. Sementara, Malikiyah dan Hanabilah menganggap sah ijab-qabulnya orang normal yang dilakukan dengan isyarat. Asal isyaratnya dapat dimengerti.

Adapun mengenai ijab-qabul dengan tulisan, para ulama berpendapat bahwa orang normal pun boleh melakukan ijab-qabulnya dengan tulisan. Karena kaidah fiqh menyatakan, "Tulisan sama kedudukannya dengan ucapan. (الكتابة كالخطاب)" Dan jika seseorang bisu tetapi bisa menulis, maka harus diutamakan ia melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sebelum ia melakukannya dengan isyarat. Syaratnya, tulisan tersebut harus memenuhi dua kriteria:
  1. Tulisan tersebut harus tahan lama, artinya tidak boleh tulisan tersebut digoreskan pada media air atau udara;

  2. Tulisan tersebut diyakini dibuat oleh yang bersangkutan, dengan dibubuhi tanda tangan.

Untuk akad nikah, para ulama tidak memperbolehkan melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sementara kedua pihak (wali dan calon pengantin laki-laki) hadir dalam majelis. Ijab-qabul dengan tulisan baru dibolehkan jika salah satu atau keduanya tidak hadir dalam majelis akad. 

Ijab-Qabul dengan Perbuatan (Tanpa Ucapan, Isyarat ataupun Tulisan)

Contoh ijab jenis ini dalam jual beli, pembeli mengambil barang yang dijual lantas memberikan uang sesuai harganya kepada penjual, kemudian penjual menerima uang tersebut. Penjual dan pembeli keduanya tidak mengucapkan kata-kata apapun, juga tanpa ada isyarat ataupun tulisan.

Mengenai jual-beli, sewa-menyewa, gadai, atau hal lainnya selain pernikahan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan ijab-qabul yang seperti itu, sebagian tidak. Adapun dalam hal pernikahan, para ulama sepakat akan tidak sahnya akad nikah yang dilakukan dengan ijab-qabul seperti ini. Alasannya, pernikahan adalah hal yang riskan yang perlu dijaga kesuciannya, karena berhubungan dengan nasib manusia (khususnya wanita dan anak). Karena itu perlu kehati-hatian. Jadi, tidak bisa dianggap sebagai ijab-qabul yang sah seperti contoh ini, wali memegang tangan anaknya (catin perempuan), lantas ia memegangkan tangan catin laki-laki kepada catin perempuan, kemudian ia melepaskan pegangannya..

Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab

Masalah ini muncul agaknya disebabkan karena adanya hadits Nabi saw. yang menceritakan seorang wanita yang mengajukan dirinya untuk dinikahi Nabi saw., tetapi Nabi saw. tidak menerimanya. Kemudian seorang lelaki meminta kepada Nabi saw. untuk dinikahkan oleh beliau kepada wanita tersebut, ia berkata, "Nikahkan saya kepada perempuan itu (زوجنيها).". Lantas Nabi saw. meminta lelaki itu untuk menyediakan mahar, tetapi lelaki tersebut tidak memilikinya. Lelaki itu hanya sanggup untuk membacakan (ayat) Al-Qur'an. Akhirnya Nabi saw. memberi pernyataan bahwa beliau menikahkan lelaki tersebut kepada wanita tadi dengan mahar (pembacaan ayat) Al-Qur'an, dengan ungkapan, "فقد أنكحتكها بما معك من القرأن".
Jika dicermati, pernyataan Nabi saw. menikahkan lelaki tersebut tiada lain adalah ijab.Nabi saw. di sini bertindak sebagai wali hakim (karena beliau adalah sulthan bagi kaum Muslim). Sementara, permintaan lelaki tersebut tentunya disebut sebagai qabul.Masalahnya, qabul lelaki tersebut diungkapkan dalam bentuk amr (perintah yang bermakan do'a)
yang diungkapkan sebelum ijab dari Nabi saw. 

Mengenai ini, kebanyakan ahli fiqh, selain Hanafiah, menganggap bahwa akad yang menggunakan bentuk amr adalah boleh, tanpa harus adanya pernyataan ketiga. Seperti contoh hadits di atas, lelaki tadi tidak harus menyatakan lagi qabulnya setelah ijab Nabi saw. tersebut..

"Cek-Gur" (Fauriyah) dalam Ijab-Qabul

Yang dimaksud "cek-gur" (fauriyah) adalah qabul yang dilakukan langsung setelah ijab.Langsung berarti tidak ada jeda antara ijab dan qabul, dan tidak diselingi atau didahului kata/kalimat lain. Mengenai hal ini, jumhur ulama fiqh (Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah) tidak menjadikan "cek-gur" sebagai syarat ijab-qabul. Alasannya, untuk mengungkapkan qabul (yang berarti persetujuan), seseorang memerlukan berfikir terlebih dahulu (apakah akan setuju atau tidak, yang diistilahkan dengan khiyar majelis). Jika "cek-gur" disyaratkan, tentunya tidak mungkin ada waktu untuk berfikir. Karena itu, Jumhur hanya mengharuskan ijab-qabul dilakukan dalam "satu majelis", walaupun waktu berfikir (untuk qabul) cukup lama. Adanya persyaratan "cek-gur" justeru akan menyulitkan seseorang untuk melakukan qabul.
Sedangkan ulama Syafi'iyah sangat ngotot mensyaratkan "cek-gur" bagi ijab-qabul.Alasannya, khiyar majelis itu bisa dilakukan setelah ijab-qabul, dengan adanya hak fasakh(membatalkan) akad setelah ijab-qabul dilakukan. Walaupun begitu, kubu ini mentolelir adanya jeda yang sejenak. Bahkan, Al-Ramli (salah satu ulama Syafi'iyah) memperbolehkan membaca basmallah, hamdallah, dan shalawat sebelum mengucapkanqabul.

Ijab dan Qabul Dilakukan oleh Satu Orang yang Sama

Kebanyakan ulama Hanafiyah, kecuali Zafar, membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama (bi aqid wahid). Karena, walaupun pada kenyataannya satu orang, tetapi dianggap menempati posisi yang berbeda. 
Menurut mereka, bolehnya ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama, dalam lima keadaan sebagai berikut:
  1. Seorang kakek yang menikahkan cucu perempuannya (yang tidak punya saudara laki-laki) kepada cucu laki-lakinya yang masih belum dewasa (tetapi sudah mumayyiz) dari anaknya yang berbeda yang telah meninggal. Kakek menempati dua posisi: sebagai wali nikah bagi cucu perempuan dan "wali" (walayah, perwalian akad karena belum dewasa) dari cucu laki-lakinya.

  2. Seseorang yang menjadi wakil untuk wali dan wakil juga untuk calon pengantin laki-laki.

  3. Seseorang akan menikahi sepupunya yang perempuan. Walinya hanya tersisa dirinya, calon pengantin laki-laki (selaku anak paman bagi calon pengantin perempuan).

  4. Seseorang yang menjadi calon pengantin laki-laki, sekaligus wakil dari wali.

  5. Seseorang yang menjadi wali, juga menjadi wakil dari calon pengantin laki-laki.

Sementara Ulama Syafi'iyah hanya membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama seperti yang diterangkan pada poin 1) di atas. Itupun dilakukan karena terpaksa, dalam keadaan ketika tidak adanya wali yang lain.

Penutup


Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan, yang berupa beberapa kristalisasi sebagai berikut:

  1. Akad nikah berbeda dengan akad-akad yang lainnya, karena menyangkut nasib manusia, khususnya wanita dan anak, juga karena nikah merupakan hal yang mesti dijaga kesuciannya salah satu sunnah Rasulullah saw. Sehingga, aturan pelaksanaan ijab-qabulnya pun berbeda dan lebih ketat persyaratannya.

  2. Perbedaan pendapat mengenai berbagai masalah dalam ijab-qabul lebih baik dijadikan alternatif penyelesaian untuk mengayomi selera dan keinginan masyarakat yang berbeda-beda dalam penyelenggaraan ijab-qabul, juga agar menjadi argumentasi untuk lebih mantapnya pelaksanaan tugas penghulu sebagai pelayan masyarakat.

  3. Sebagai aparat negara, jika di lapangan menemui kesulitan karena adanya perbedaan pendapat, sebagai langkah aman, sebaiknya penghulu berpegang kepada pendapat negara, sesuai kaidah, "Jika terjadi perbedaan pendapat, maka pendapat (yang dipegang) adalah pendapat imam. (إذا اختلف فالقول قول الإمام)".

DAFTAR PUSTAKA


A. Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, terj. Tajul Arifin dkk., Kiblat Press, Bandung: 2002
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta: t.th.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, Dar al-Fikr, Beirut: 1983
--------, Fiqh al-Sunnah, jilid VI, Dar al-Bayan, Kuwait: 1968
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid IV, Dar al-Fikr, Beirut: 1984

--------, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid VII, Dar al-Fikr, Beirut: 1984

Disusun oleh Para Penghulu Wilayah Karees Kota Bandung
Disampaikan dalam Rapat Dinas Penghulu Kota Bandung
http://pokjahulu-kotabandung.blogspot.com
 
back to top